

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan lagi isu
tersembunyi, melainkan sudah menjadi bagian dari wajah buram kehidupan keluarga
di negeri ini. Menurut data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan
2024, tercatat ada 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat dari
tahun sebelumnya yang berjumlah 401.975 kasus. [nr1] Subhanallah. Para ahli mengatakan, angka ini hanyalah
puncak dari fenomena gunung es. Banyak kasus lain yang tak pernah tercatat
karena tersembunyi.
Faktanya, banyak pelaku kekerasan itu ternyata tak pernah
hadir di majelis ilmu, tak pernah duduk di kajian, yang di dalamnya dibacakan
nasihat dari Al-Qur’an dan sunnah. Lalu bagaimana kita bisa menyampaikan
kebenaran pada mereka? Sebelum menuding ke luar, mari bertanya lebih dulu ke
dalam hati: “Benarkah rumah tangga kita bebas dari kekerasan? Benarkah kita
sungguh-sungguh ingin mengajak istri dan anak-anak kita ke surga-Nya?”
Atau jangan-jangan, kitalah yang tanpa sadar justru
menghalangi mereka? Atau malah istri kita yang—na’udzubillah—menjegal langkah
kita menuju surga?
Masuk surga itu tidak mudah. Berat. Maka sebelum
melangkah lebih jauh, sudah sepatutnya kita bercermin, berintrospeksi, dan
bertanya dalam hati: “Apakah rumah tangga kita sudah di atas jalan yang
diridhai Allah?”
Surga Allah itu mahal harganya. Bukan tempat yang bisa
dimasuki dengan bersantai, apalagi tanpa usaha dan pengorbanan.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
أَلاَ إِنَّ
سِلْعَةَ اللَّهِ غَالِيَةٌ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ الْجَنَّةُ
"Ketahuilah, barang dagangan Allah itu mahal
harganya. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah adalah surga." (HR At-Tirmidzi, no. 2450, dishahihkan oleh Syekh
Al-Albani)
Coba kita bandingkan dengan di dunia, harga tanah satu
meternya bisa mencapai 4 juta rupiah. Kalau mau bangun rumah 100 meter, artinya
perlu 400 juta. Mau rumah 1.000 meter? Siapkan 4 miliar. Itu baru rumah di
dunia. Padahal bumi ini, yang kita anggap besar dan mahal, ternyata lebih kecil
dibandingkan planet-planet lain. Bahkan, bumi hanyalah satu titik kecil di
antara miliaran bintang.
Lalu bagaimana dengan surga, yang luasnya seluas langit
dan bumi? Kalau tanah 1.000 meter saja kita perjuangkan mati-matian, apakah
kita akan bersantai untuk mendapatkan surga?
Rumah tangga bagaikan kendaraan. Ia harus memiliki tujuan
yang jelas. Jika tujuan kita membangun rumah tangga bukan karena Allah, bukan
untuk saling tolong-menolong dalam ketaatan, lalu bagaimana mungkin ia akan
sampai ke surga? Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan
setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR al-Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)
Jika sejak awal niat membangun rumah tangga hanya karena
gengsi, pelarian dari kesepian, atau sekadar ingin menikah karena usia, maka
hasilnya akan jauh dari sakinah, apalagi membawa pasangan menuju surga. Maka
mari bertanya pada diri kita sendiri:
"Apa niatku membangun rumah tangga ini? Untuk siapa
aku menikahinya? Apa benar tujuanku adalah untuk bersama menuju ridha dan surga
Allah?"
Namun, jika kita merasa pernah salah dalam melangkah, memilih
pasangan tanpa bimbingan agama atau membangun rumah tangga tanpa niat yang
benar, maka bukan berarti semuanya sudah terlambat. Duduklah kembali dengan
pasangan. Ajak bicara dari hati ke hati. Tanyakan kembali arah bahtera ini:
"Mas, kita ini mau ke mana? Apakah arah kita masih
menuju surga, atau sudah mulai menyimpang tanpa kita sadari?"
Karena kenyataannya, tidak sedikit pasangan yang dulunya
tekun beribadah, puasa Senin Kamis, rajin hadir di majelis ilmu, sholat di shaf
pertama. Namun, setelah kehidupannya berubah, rezeki bertambah, kesibukan
meningkat, perlahan-lahan kebiasaan itu luntur. Masjid tidak lagi dikunjungi,
mushaf mulai berdebu, dzikir dan sholat dhuha hanya tinggal cerita. Demikian
pula sang istri. Dulu rajin mengaji, tekun membaca Al-Qur’an setiap pagi, sholat
dhuha tak pernah tertinggal. Tapi kini... hari demi hari berlalu tanpa jejak
ibadah yang nyata.
Perubahan ini tidak selalu disebabkan oleh niat yang
buruk, tetapi terkadang karena lelah, lalai, atau teralihkan oleh dunia. Maka
di sinilah pentingnya suami dan istri saling mengingatkan. Rumah tangga bukan
tentang siapa yang lebih suci, tetapi tentang siapa yang lebih peduli agar
sama-sama selamat.
Mari luruskan niat. Perbaiki tujuan. Karena surga bukan
tempat bagi mereka yang saling menyakiti, melainkan bagi mereka yang saling
menuntun dan menopang dalam kebaikan. Namun, untuk bisa sampai pada tujuan
mulia tersebut, kita harus menghadapi berbagai ujian dalam rumah tangga.
Seperti halnya yang dialami oleh Rasulullah ﷺ dalam
perjalanannya bersama istri-istrinya. Beliau tidak hanya seorang pemimpin umat,
tetapi juga seorang suami yang penuh kasih sayang dan perhatian, yang
senantiasa berusaha membimbing keluarganya menuju surga Allah. Dalam suatu
peristiwa yang penting, Rasulullah ﷺ menghadapi
ujian dalam rumah tangga yang memberi pelajaran berharga bagi kita semua.
Kisah Problematika Rumah Tanggga Rasulullah ﷺ.
Pada tahun ke-9 Hijriah, di tengah perjalanan hidupnya,
Rasulullah ﷺ merasa ada
perubahan dalam sikap istri-istrinya. Perubahan itu cukup signifikan sehingga
beliau memutuskan untuk mengambil sikap yang tegas. Beliau bersumpah tidak akan
mendekati istri-istrinya selama satu bulan, dan beliau tinggal terpisah di
sebuah tempat yang sederhana, sebuah gubuk kecil di kebun, untuk merenungkan
keadaan keluarganya. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk menegur, tetapi juga
untuk mengingatkan, dan yang paling penting, untuk memastikan bahwa keluarganya
tetap berada di jalan yang benar, ini Rasulullah lakukan untuk membonceng
keluarganya ke surga Allah.
Setelah satu bulan berlalu, sebuah berita yang tidak
menyenangkan mulai menyebar di kota Madinah. Kabarnya, Rasulullah ﷺ telah
menceraikan istri-istrinya, sesuatu yang jelas membuat banyak orang terkejut.
Maka datanglah Umar radhiallahu 'anhu, sahabat yang sangat dekat dengan
Rasulullah ﷺ, untuk
memastikan kebenaran berita itu. Dialog yang terjadi antara Umar dan Rasulullah
ﷺ menjadi sebuah
pelajaran penting tentang bagaimana menjaga hubungan dalam rumah tangga
meskipun di tengah ujian yang berat.
Seiring dengan berjalannya waktu, kita bisa menyaksikan
bagaimana Rasulullah ﷺ akhirnya kembali kepada istri-istrinya, dan saat beliau tiba,
Aisyah radhiallahu 'anha, salah satu istri beliau, menghitung hari-hari
yang telah berlalu sejak beliau pergi. Aisyah berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Ya
Rasulullah, engkau bersumpah akan berpisah selama satu bulan, tetapi engkau
datang setelah 29 hari."
Rasulullah ﷺ kemudian
menjelaskan, "Bulan itu memiliki 29 atau 30 hari." Beliau
kemudian membacakan firman Allah ﷻ dalam surat
Al-Ahzab ayat 28-29 yang mengingatkan istri-istri beliau tentang pilihan mereka
dalam hidup ini. Ayatnya berbunyi,
ﵟيَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا
وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحٗا
جَمِيلٗاﵞ
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika
kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar
kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.”
ﵟوَإِن كُنتُنَّ
تُرِدۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ فَإِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ
لِلۡمُحۡسِنَٰتِ مِنكُنَّ أَجۡرًا عَظِيمٗاﵞ
“Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan
negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa
yang berbuat baik di antara kamu.” (QS
Al-Ahzab: 28-29)
Dalam konteks ini, Allah memberikan istri-istri Nabi
sebuah pilihan yang sangat jelas. Jika mereka menginginkan kenikmatan duniawi, mereka
bisa memilih itu, tetapi dengan konsekuensi bahwa perjalanan hidup mereka
bersama Nabi ﷺ akan berakhir.
Sebaliknya, jika mereka memilih kehidupan mulia di akhirat bersama Rasulullah ﷺ, mereka akan mendapatkan pahala yang
sangat besar dari Allah.
Allah mengajarkan kepada kita bahwa jika tujuan hidup
kita hanya untuk mencari kenikmatan duniawi, maka itu adalah jalan yang berbeda
dari tujuan akhirat. Seperti halnya seseorang yang memilih antara dua arah yang
sangat jauh dan berbeda, mereka tidak akan sampai ke tujuan yang sama jika
jalannya tidak sejalan.
Misalnya, jika ada dua orang yang ingin pergi ke Jogja
dan satu lagi ingin ke Papua, mereka tidak akan pernah bertemu di tengah
perjalanan. Meskipun mereka berangkat bersama, tujuan mereka berbeda, dan jalan
yang mereka tempuh pun tidak akan pernah sama. Begitu pula dalam sebuah rumah
tangga. Jika suami dan istri memiliki tujuan hidup yang berbeda, misalnya, satu
ingin mengejar kenikmatan dunia, sementara yang lain ingin fokus pada kehidupan
akhirat, mereka akan terus mengalami perbedaan yang tidak kunjung usai.
Perjalanan mereka akan penuh dengan keributan, kebingungan, dan ketegangan,
karena tujuan mereka tak lagi sejalan.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk memeriksa kembali
niat kita dalam membangun rumah tangga. Apakah kita sudah benar-benar ingin
bersama-sama membangun kehidupan yang lebih baik menuju Allah? Ataukah kita
hanya sibuk mengejar kenikmatan dunia yang sementara? Jika kita ingin surga,
kita harus memilih jalan yang membawa kita ke sana bersama-sama. Jangan sampai
kita terjebak dalam perjalanan yang penuh keributan hanya karena tujuan hidup
yang berbeda.
Dalam kehidupan rumah tangga, para suami harus
benar-benar mendidik istrinya dengan baik, mengajarkan nilai-nilai yang benar,
dan memberi pemahaman tentang tujuan hidup yang sebenarnya. Rasulullah ﷺ sebagai
teladan sempurna, mampu memberikan segala kemewahan dunia. Namun, beliau
memilih untuk mengorbankan harta dan segala kemewahan demi perjuangan di jalan
Allah. Beliau memahami bahwa harta dunia bukanlah segalanya, dan yang lebih
penting adalah ridha Allah ﷻ.
Tulisan ini disadur dari video pendek berjudul “Boncenglah Keluargamu Ke Surga” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru




