

Sebagian dari kita mungkin mengira bahwa tanggal 10
Muharram hanyalah hari biasa, sama seperti hari-hari lainnya. Padahal, pada
tanggal itu tersimpan sejarah yang sangat penting dan sepatutnya dikenal oleh
kaum muslimin.
Ketika Rasulullah ﷺ hijrah dari
Mekah ke Madinah, beliau tiba pada tanggal 10 Muharram. Di sana, beliau
mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari tersebut. Rasulullah ﷺ pun bertanya,
“Ada apa ini? Mengapa kalian berpuasa pada tanggal 10 Muharram?” Mereka
menjawab, “Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah ﷻ menyelamatkan
Nabi Musa dan Bani Israil dari Fir‘aun. Sebagai ungkapan syukur, Nabi Musa
berpuasa pada hari itu.”
Mendengar hal tersebut, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Maka beliau pun berpuasa
pada tanggal 10 Muharram dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa juga.
Bahkan disebutkan, sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, puasa Asyura sempat
menjadi kewajiban bagi kaum muslimin.
Lalu, bagaimana sebenarnya kisah Nabi Musa dan
Bani Israil yang diselamatkan Allah ﷻ dari Fir‘aun?
Sebuah kisah yang luar biasa, yang jika kita renungkan, akan membuat kita
semakin menyadari betapa besar nikmat Allah ﷻ kepada
hamba-hamba-Nya.
Kisah Nabi Musa dan Bani
Israil yang Diselamatkan dari Fir‘aun
Pada malam 10 Muharram, setelah bertahun-tahun
Nabi Musa ‘alaihis salam berdakwah kepada Fir‘aun dengan penuh kesabaran dan
kelembutan, tibalah saat Allah ﷻ menurunkan
keputusan-Nya. Dakwah Nabi Musa tidak membuat Fir‘aun luluh. Justru Fir‘aun
semakin keras kepala, zalim, bahkan mengaku sebagai tuhan. Ia menindas Bani
Israil dan membunuh anak-anak laki-laki mereka.
Meski begitu, Nabi Musa tetap menyampaikan
ajaran tauhid dengan tutur kata lembut, sebagaimana perintah Allah dalam
Al-Qur’an,
ﵟفَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ
يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ 44 ﵞ
“Maka berbicaralah
kamu berdua (Musa dan Harun) kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut (kepada Allah).” (QS Thaha:
44)
Namun Fir‘aun tetap menentang. Hingga
pada malam 10 Muharram yang penuh keberkahan itu, Allah ﷻ memerintahkan Nabi Musa untuk membawa Bani Israil keluar dari
Mesir secara diam-diam.
Malam itu, Nabi Musa bersama Bani Israil
pun berangkat meninggalkan Mesir. Namun di tengah perjalanan, jalan yang sudah
mereka siapkan tiba-tiba hilang. Mereka tersesat dan kebingungan. Nabi Musa pun
bingung menghadapi keadaan ini.
Lalu para ulama Bani Israil berkata,
“Sesungguhnya Nabi Yusuf ‘alaihis salam sebelum wafat telah mengambil
perjanjian dengan kita: kita tidak boleh keluar dari Mesir kecuali membawa
jasadnya.”
Nabi Musa tahu di mana Nabi Yusuf
dimakamkan, tetapi tidak ada yang tahu letaknya secara pasti selain seorang
wanita tua. Wanita itu bersedia menunjukkan lokasinya dengan satu syarat: agar
Allah ﷻ memasukkannya ke surga. Nabi
Musa pun berdoa, dan Allah ﷻ mengabulkan
permintaan wanita tersebut.
Wanita itu lalu mengajak mereka ke sebuah
danau dan memerintahkan untuk mengeringkannya. Setelah air surut, ia
menunjukkan lokasi makam Nabi Yusuf dan memerintahkan untuk menggali hingga
menemukan jasadnya. Setelah jasad Nabi Yusuf diangkat, jalan mereka terbuka dan
bumi menjadi terang benderang, meski malam masih gelap. Mereka pun melanjutkan
perjalanan keluar dari Mesir sambil membawa jasad Nabi Yusuf ‘alaihis salam.
Sementara itu, Fir‘aun yang mengetahui
kabar pelarian Bani Israil segera mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengejar
mereka. Ia berniat memusnahkan Bani Israil sekali untuk selamanya.
Keesokan paginya, Nabi Musa dan kaumnya
tiba di tepi laut. Di depan mereka bentangan air yang luas, sementara di
belakang, pasukan Fir‘aun semakin mendekat. Dalam kondisi terjepit dan penuh
kepanikan, Bani Israil pun kebingungan dan ketakutan.
Sebagaimana diceritakan oleh Allah ﷻ,
ﵟفَلَمَّا
تَرَٰٓءَا ٱلۡجَمۡعَانِ قَالَ أَصۡحَٰبُ مُوسَىٰٓ إِنَّا لَمُدۡرَكُونَ 61ﵞ
“Maka ketika kedua kelompok itu saling melihat, para pengikut Musa berkata,
'Kita pasti akan tertangkap.’” (QS Asy-Syu‘ara:
61)
Dalam keadaan
genting, saat di depan membentang laut luas dan di belakang pasukan Fir‘aun
kian mendekat, para pengikut Nabi Musa diliputi rasa takut dan putus asa.
Mereka yakin tak ada lagi jalan selamat. Namun, Nabi Musa ‘alaihis salam,
dengan iman yang teguh, menenangkan mereka,
ﵟقَالَ كَلَّآۖ
إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ 62 ﵞ
“(Musa) menjawab, 'Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia
pasti akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS Asy-Syu‘ara: 62)
Di sinilah kita
diajarkan untuk selalu berbaik sangka kepada Allah ﷻ. Untuk tetap optimis meski dihadapkan pada kesulitan yang
tampak mustahil. Bahwa jika kita bersabar dan berusaha, pasti ada jalan keluar
yang Allah sediakan. Benar saja, pertolongan Allah pun datang,
ﵟفَأَوۡحَيۡنَآ
إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنِ ٱضۡرِب بِّعَصَاكَ ٱلۡبَحۡرَۖ فَٱنفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ
فِرۡقٖ كَٱلطَّوۡدِ ٱلۡعَظِيمِ 63 ﵞ
“Maka Kami wahyukan kepada Musa, 'Pukullah laut itu dengan tongkatmu!' Lalu
terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar.” (QS Asy-Syu‘ara: 63)
Dengan izin Allah ﷻ, laut itu terbelah menjadi dua belas jalan, memisahkan air
seperti dinding kokoh. Setiap kabilah Bani Israil melintasi jalannya
masing-masing. Mereka berhasil menyeberang, meninggalkan Mesir yang menindas
mereka selama bertahun-tahun.
Fir‘aun dan pasukannya pun tak mau kalah.
Mereka terus mengejar lewat jalan yang sama. Namun ketika Bani Israil telah
selamat sampai ke daratan, Allah ﷻ menutup kembali laut itu. Air menelan Fir‘aun beserta
pasukannya hingga tenggelam dan binasa.
Betapa besar nikmat Allah pada hari itu.
Bani Israil yang selama bertahun-tahun menyaksikan bayi-bayi mereka dibantai
dan perempuan mereka diperbudak akhirnya dibebaskan dari kekejaman Fir‘aun.
Sebagai wujud syukur atas keselamatan itu, Nabi Musa menetapkan tanggal 10
Muharram sebagai hari berpuasa. Kita kaum muslimin, lebih berhak mengikuti
jejak itu. Rasulullah ﷺ sendiri
mencontohkan untuk berpuasa pada hari Asyura. Maka jika kita diberi kesempatan
bertemu dengan tanggal 10 Muharram, hendaklah kita berpuasa. Karena keutamaannya sangat
besar, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى
اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Puasa hari Asyura, aku
berharap kepada Allah ﷻ agar dapat menghapus dosa setahun yang
lalu.” (HR
Muslim, no. 1162).
Karena itu, jika Allah ﷻ masih memberi kita umur hingga 10 Muharram, marilah kita
niatkan untuk berpuasa. Jadikan itu sebagai bentuk syukur dan pengingat akan
kisah iman yang luar biasa. Bukan sekadar mengenang peristiwa besar di masa lalu,
tetapi juga meneladani keteguhan Nabi Musa dalam bertawakal dan taat pada
perintah Allah.
Dengan berpuasa di hari Asyura, kita
bukan hanya meraih pahala, tetapi juga menghidupkan sunnah Rasulullah ﷺ. Semoga Allah ﷻ menerima amal
ibadah kita, menjadikan kita hamba yang bersyukur, serta meneguhkan kita di
jalan-Nya hingga akhir hayat.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Tulisan
ini disadur dari khutbah jumat berjudul “Sejarah 10 Muharram” yang disampaikan oleh Ustadz Dr.
Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam
Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru



