Keutamaan Orang yang Ditinggal Mati Anaknya yang Masih Kecil
Keutamaan Orang yang Ditinggal Mati Anaknya yang Masih Kecil

Kita semua tahu betapa berharganya kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangga. Ketika sepasang suami istri baru saja menikah, seringkali orang-orang mulai bertanya, “Sudah hamil belum?” atau, “Sudah punya anak berapa?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul karena anak memang dianggap sebagai perhiasan dunia, menjadi harapan dan kebanggaan, bahkan belahan jiwa serta potongan hati bagi orang tua.

 

Namun, karena terlalu mencintai anak, terkadang orang tua bisa kehilangan arah. Rasulullah bersabda,

 

إِنَّ الوَلَدَ مَبْخَلَةٌ، مَجْبَنَةٌ، مَجْهَلَةٌ، مَحْزَنَةٌ

"Sesungguhnya anak itu (bisa menjadi) penyebab seseorang menjadi pelit, pengecut, bodoh, dan sedih." (HR Hakim, no. 5368. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

 

Karena rasa cinta yang sangat dalam, orang tua bisa jadi takut untuk berjuang, menjadi pelit dengan dalih menabung demi masa depan anak-anaknya, bahkan bisa kehilangan akal sehat dalam menghadapi hidup. Padahal, Nabi telah menganjurkan agar memilih pasangan yang berpotensi memberikan keturunan. Beliau bersabda,

 

‌تَزَوَّجُوا ‌الْوَدُودَ ‌الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ

Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku” (HR Abu Dawud, no. 2050. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

 

Namun kenyataannya, tidak semua orang diberi anugerah keturunan. Ada yang harus menunggu bertahun-tahun, seperti Nabi Ibrahim 'alaihis salam yang baru dikaruniai anak pada usia 86 tahun, atau Nabi Zakariya 'alaihis salam yang mendapat anak di usia 100 tahun. Bahkan, ada pula yang tidak pernah diberi anak sama sekali hingga akhir hayatnya.

 

Sebagian orang diberi anak, tetapi diuji dengan kehilangan. Anak yang dinanti selama sembilan bulan dengan harapan besar, justru harus kembali ke sisi Allah tak lama setelah lahir, bahkan mungkin sebelum sempat melihat dunia. Rasa kehilangan ini begitu dalam dan menyisakan luka yang tidak mudah sembuh. Namun, bagaimana seharusnya kita menyikapi musibah seperti ini? Allah berfirman,

 

ﵟوَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ 155 ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَﵞ

"Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." (QS Al-Baqarah: 155–156)

 

Rasulullah juga bersabda,

 

مَا مِنَ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلَاثٌ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ، إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ

"Tidaklah seorang Muslim yang tiga anaknya meninggal sebelum baligh, melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam surga karena rahmat-Nya kepada anak-anak itu." (HR Bukhari, no. 1258)

 

Bahkan, jika hanya dua anak yang meninggal, tetap ada peluang mendapatkan pahala besar sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis lainnya. Nabi sendiri kehilangan tiga anak yang wafat saat masih kecil: Qasim, Abdullah, dan Ibrahim. Karena mereka belum baligh, maka tidak dicatat dosa-dosanya. Rasulullah bersabda,

 

‌رُفِعَ ‌الْقَلَمُ ‌عَنْ ‌ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ المُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ

Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.” (HR Abu Dawud, no. 4398. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

 

Jika orang tua bersabar atas musibah ini, maka mereka akan mendapatkan pahala besar sebagaimana yang dijanjikan dalam hadis-hadis tersebut. Namun sebaliknya, jika seseorang tidak ridha atas takdir Allah , bisa jadi musibah ini justru menjadi bumerang baginya. Rasulullah bersabda,

 

عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، ‌وَمَنْ ‌سَخِطَ ‌فَلَهُ ‌السُّخْطُ

"Besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha, maka Allah pun ridha kepadanya. Dan barang siapa yang marah (tidak menerima takdir), maka baginya murka Allah." (HR Ibnu Majah, no. 4031. Dihasankan oleh Suaikh Al-Albani)

Kesedihan kita tidak akan membangkitkan anak itu kembali. Tidak ada yang bisa disalahkan. Ucapkanlah, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Marah dan bersedih memang manusiawi, tetapi jika berlarut-larut, tidak akan membawa manfaat.

 

Jangan sampai seseorang yang kehilangan anak juga kehilangan fadhilah besar yang telah Allah janjikan. Orang tua yang kehilangan tiga anak yang belum baligh, insya Allah, tidak akan disentuh api neraka karena kasih sayang Allah kepada anak-anak tersebut. Kesabaran mereka akan diganti dengan surga, dan luka yang mereka rasakan akan diganti dengan kenikmatan yang abadi. Di akhirat nanti, mereka akan berkata,

 

ﵟٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِيٓ أَذۡهَبَ عَنَّا ٱلۡحَزَنَۖ ﵞ 

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.” (QS Fathir: 34)

 

Bagi yang hari ini tengah bersedih karena ditinggal wafat oleh anak-anaknya, gantilah kenangan itu dengan harapan.

Jika kenangan adalah masa lalu, maka harapan adalah masa depan. Harapan bahwa kelak anak-anak itu akan menanti orang tuanya di surga Allah .

 

Terkait dengan hal ini, Rasulullah bersabda bahwa tidaklah seorang wanita (atau orang tua) yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, melainkan anak-anak tersebut akan menjadi penghalang (hijab) yang menyelamatkan orang tuanya dari api neraka.

 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,

"Seorang wanita datang kepada Rasulullah lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, para laki-laki telah mendapatkan banyak pelajaran darimu. Maka, jadikanlah untuk kami (kaum wanita) satu hari khusus dari dirimu, agar kami bisa mendatangimu pada hari itu dan engkau mengajarkan kepada kami dari apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.'

Beliau bersabda, 'Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini, di tempat ini dan ini.' Maka mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah datang menemui mereka dan mengajarkan kepada mereka dari apa yang telah diajarkan Allah kepadanya.

Kemudian beliau bersabda, 'Tidaklah ada seorang wanita di antara kalian yang mendahulukan tiga anaknya (yang wafat sebelum baligh), melainkan mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.'

Lalu salah satu dari wanita itu berkata, 'Wahai Rasulullah, bagaimana kalau hanya dua (anak)?' Maka beliau pun mengulanginya dua kali, kemudian bersabda, 'Dan dua anak... dan dua anak... dan dua anak.'" (HR Bukhari, no. 7306)

 

Insya Allah, bagi orang tua yang kehilangan dua orang anak, maka anak-anak itu tetap menjadi sebab keselamatan mereka dari api neraka.

Sebagian ibu mungkin merasa lelah dan berkata, “Ustaz, saya hamil lagi dan lagi, saya capek.” Ketahuilah, setiap lelah itu tercatat di sisi Allah . Mungkin sebagian merasa suaminya kurang perhatian, harus mengurus anak-anak sendiri tanpa pembantu. Ketahuilah, semua kelelahan dan pengorbanan itu bernilai pahala yang tidak akan hilang sia-sia.

 

Allah berfirman,

ﵟوَلِكُلّٖ دَرَجَٰتٞ مِّمَّا عَمِلُواْۖ وَلِيُوَفِّيَهُمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَﵞ 

“Setiap orang memperoleh derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah menyempurnakan balasan amal mereka serta mereka tidak dizalimi.” (QS Al-Ahqaf: 19)

 

Itulah sebabnya seorang anak diwajibkan untuk memuliakan ibunya terlebih dahulu, ibunya, lalu ibunya lagi, dan barulah kemudian ayahnya di urutan keempat. Hal ini karena ada banyak hal yang dilakukan oleh seorang ibu yang tidak dilakukan, atau bahkan tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah.

 

Hadirkanlah dalam diri kita bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah dan memakmurkan bumi. Setidaknya, kita dapat berkontribusi dalam memakmurkan bumi dengan menambah jumlah umat Rasulullah .

  

Tulisan ini disadur dari serial kajian kitab Riyadush Shalihin karya Imam An-Nawawi berjudul “Keutamaan Orang Yang Ditinggal Mati Anaknya Yang Masih Kecil” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).