Mengapa Harus Menikah?
Mengapa Harus Menikah?

Salah satu pertanyaan yang sering terlupakan adalah, “Mengapa harus menikah?” Kebanyakan orang justru lebih sering bertanya, “Kapan nikah?” Padahal, memahami mengapa jauh lebih penting sebelum menentukan kapan. Berikut ini hikmah disyariatkannya pernikahan:

 

Menjaga Keberlangsungan Hidup Manusia

Pernikahan bukan hanya memenuhi kebutuhan biologis atau tradisi sosial, melainkan bagian dari syariat yang membawa maslahat besar bagi individu, keluarga, dan masyarakat.

Lihatlah kondisi beberapa negara yang kini menghadapi krisis populasi. Korea Selatan, misalnya, sering dijadikan panutan karena kemajuan industrinya dan populernya budaya mereka lewat film. Namun, secara sosial, mereka sedang menghadapi kecemasan yang serius. Banyak warganya enggan menikah dan tidak ingin memiliki anak. Begitu pula dengan Jepang, yang mengalami fenomena serupa. Populasi penduduknya membentuk piramida terbalik: jumlah lansia jauh lebih banyak daripada anak-anak.

Bagaimana semua itu bisa terjadi? Salah satunya karena sistem sosial mereka tidak mendukung keluarga yang sehat. Beban hidup terlalu berat, dan perempuan tidak mendapatkan jaminan kehidupan jika tidak bekerja keras di luar rumah. Akibatnya, banyak yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak karena dianggap melelahkan.

Islam datang membawa solusi. Dalam Islam, tanggung jawab nafkah berada di tangan suami. Allah berfirman,

 

ﵟٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚﵞ 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisa: 34)

 

Dengan demikian, istri tidak harus lelah mencari nafkah. Perannya sebagai ibu bisa dijalankan dengan penuh kesungguhan tanpa harus terbebani dengan tanggung jawab ekonomi.

 

Menjaga Kehormatan Diri

Pernikahan juga menjadi jalan untuk menjaga kehormatan diri, agar seseorang tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina. Manusia memiliki syahwat sebagai fitrah yang diciptakan oleh Allah . Laki-laki menyukai perempuan, dan perempuan pun menyukai laki-laki. Hanya orang yang sakit atau menyimpang fitrahnya yang tidak memiliki hasrat tersebut. Namun, hari ini muncul fenomena menyimpang berupa pernikahan sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Tentu ini mustahil untuk melanjutkan keturunan dan bertolak belakang dengan tujuan penciptaan manusia.

 

Mendapatkan Cinta dan Kasih Sayang

Manusia butuh cinta dan kasih sayang. Itulah sebabnya Allah menciptakan pasangan bagi Nabi Adam ‘alaihissalam. Dalam beberapa tafsir disebutkan, meskipun beliau berada di surga dan bisa menikmati berbagai kenikmatan, Nabi Adam tetap merasakan kesepian. Dunia yang luas dan indah pun terasa hampa bila dijalani sendirian. Allah berfirman,

 

ﵟوَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ ﵞ 

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS Ar-Rum: 21)

 

Pernikahan adalah jalan untuk memperoleh ketenangan. Seorang istri yang shalihah menjadi sumber kedamaian dan kebahagiaan bagi suaminya. Sebaliknya, bila istri tidak shalihah, rumah bisa terasa seperti tempat yang menyesakkan, sehingga terkadang suami lebih memilih bermalam di masjid daripada pulang ke rumah.

Para ulama menyebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda,

 

الدُّنْيَا مَتَاعٌ. ‌وَخَيْرُ ‌مَتَاعِ ‌الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

"Dunia adalah tempat kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah istri shalihah.” (HR Muslim, no. 1367)

 

Hadits ini menjadi isyarat bahwa apabila seseorang mendapatkan istri yang tidak shalihah, maka itu bisa menjadi bala` atau ujian yang besar dalam hidup. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung dan beristirahat justru berubah menjadi sumber tekanan.

Ketika suami pulang dari kerja berharap disambut hangat oleh istrinya dengan senyuman dan sapaan penuh kasih, “Ahlan wa sahlan. Mau minum yang panas atau yang dingin?” Itulah rumah yang penuh keberkahan. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, baru masuk rumah sudah disambut dengan kemarahan dan pertanyaan sinis seperti, “Kok telat pulangnya?” suasana rumah menjadi tidak nyaman.

Kadang kala seorang suami hanya bisa menghela napas dan berkata dalam hati, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari istri yang membuatku beruban sebelum waktunya.” Ini adalah salah satu doa Rasulullah ,

 

اللَّهُمَّ إنِّي أّعُوذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ، وَمِنْ زَوْجٍ تُشَيِّبُنِي قَبْلَ المَشِيبِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang jahat, dan dari pasangan yang menjadikanku tua (beruban) sebelum waktunya.” (HR Thabrani dalam kitabnya “Ad-Du`aa,” Syekh Al-Albani mengatakan sanad hadis ini Jayyid)

 

Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah pasangan yang shalih. Apabila seorang wanita mendapatkan suami yang shalih, kehidupannya akan penuh berkah. Namun, jika yang didapatkan adalah suami yang zalim, maka rumah tangga terasa seperti neraka.

 

Saling Tolong-Menolong

Pernikahan disyariatkan untuk membangun cinta, kasih sayang, dan saling tolong-menolong dalam urusan dunia maupun akhirat. Suami istri menjadi mitra yang saling menguatkan.

Seseorang muslim sepatutnya mencari pasangan yang bisa membantunya dalam urusan anak dan mengingatkan untuk taat kepada Allah, termasuk membangunkannya untuk sholat malam dan membaca Al-Quran. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Dalam rumah tangga, kolaborasi dan kerja sama sangat penting.

Sebagai contoh, bila seorang suami dan istri memiliki tiga anak dan harus berbagi peran, bergantian menjaga anak sembari menjalankan usaha, tentu bukan perkara mudah. Misalnya, suami berkata kepada istrinya, “Insya Allah kita bagi tugas, tiga hari aku jaga anak, tiga hari kamu jaga toko.” Apakah hal ini bisa dijalankan? Bisa saja, tetapi hasilnya anak-anak bisa babak belur karena dididik oleh ayahnya. Anak-anak yang masih kecil memerlukan kasih sayang dan perhatian yang besar, dan itu melelahkan jika dilakukan sendirian.

Karena itulah Islam memerintahkan untuk hidup berpasangan. Ada pembagian peran, ada dukungan, ada kasih sayang yang menumbuhkan kekuatan bersama.

Maka di dunia pendidikan anak usia dini, ketika ada guru TK laki-laki, menjadi suatu hal yang aneh. Mengapa? Karena peran dan naluri alami perempuan dalam merawat anak lebih kuat dibanding laki-laki. Ada hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh seorang suami, tetapi bisa dilakukan oleh istrinya. Begitu pula sebaliknya. Maka, pernikahan menjadi sarana untuk saling melengkapi dan tolong-menolong dalam menjalani kehidupan.

Itulah salah satu tujuan dari pernikahan, yaitu saling menyempurnakan. Suami istri harus bekerja sama dalam membangun rumah tangga agar tidak ada satu pihak yang merasa terbebani sendirian.

 

Menyalurkan Kebutuhan Biologis

Hikmah lainnya dari disyariatkannya pernikahan adalah untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara halal dan aman. Manusia memiliki dorongan syahwat, dan jika tidak disalurkan melalui jalan yang benar, dapat menimbulkan bahaya besar. Menyalurkannya pada tempat yang halal membawa kenikmatan dan ketenangan, sekalipun hanya sesaat, tetapi memiliki pengaruh besar dalam menjaga kehormatan diri.

Rasulullah memberikan arahan yang sangat bijak. Jika seorang suami di luar rumah melihat sesuatu yang membangkitkan syahwatnya, maka hendaknya ia segera pulang dan menyalurkan keinginannya kepada istrinya. Dalam sebuah hadits disebutkan,

 

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ الَّتِي تُعْجِبُهُ ‌فَلْيَرْجِعْ ‌إِلَى ‌أَهْلِهِ حَتَّى يَقَعَ بِهِمْ، فَإِنَّ ذَلِكَ مَعَهُمْ

“Bila engkau melihat seorang wanita yang menjadikanmu tertegun kagum maka segeralah engkau pulang menjumpai istrimu dan lampiaskanlah hasratmu padanya, karena semua yang ada pada wanita tersebut ada pula pada istrimu.” (HR. Ibnu Hibban, no. 1633, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani)

 

Inilah keindahan syariat Islam. Agama ini tidak mengingkari fitrah, tetapi mengarahkannya agar tidak merusak. Maka pernikahan bukan hanya hubungan dua insan, melainkan juga penjagaan terhadap kehormatan, kedamaian, dan keselamatan masyarakat secara luas.

Pernah ada kisah yang diceritakan oleh seorang teman di Madinah, kisah ini terjadi di Sudan. Seorang hakim tengah menjalankan persidangan. Ketika sidang, hadir seorang wanita yang sangat cantik, entah sebagai saksi atau terdakwa. Sang hakim tampak terguncang. Beberapa saat kemudian, ia meminta izin untuk keluar dan pulang ke rumah. Tidak lama berselang, ia kembali ke ruang sidang dengan wajah yang telah tenang dan sikap yang terkendali. Persidangan dilanjutkan seperti biasa, seakan tak terjadi apa pun.

 

Apa yang bisa kita ambil dari peristiwa ini?

 

Syahwat itu jika ditahan terus-menerus tanpa disalurkan ke tempat yang benar, dapat menjadi petaka. Maka syariat datang bukan untuk mengekang fitrah manusia, tetapi mengarahkan dan mengaturnya. Dalam kasus sang hakim, ia tahu bahwa jika syahwatnya dibiarkan liar, ia bisa kehilangan objektivitas dan keadilan. Ia memilih jalan halal dan kembali dengan hati yang tenang.

Sungguh, syariat ini sangat indah. Ia hadir sebagai rahmat yang menjaga dari kerusakan.

 

Tulisan ini disadur dari kajian Fikih Keluarga berjudul Hikmah Sebuah Pernikahan” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).