

Islam sangat indah, setiap ajarannya penuh
rahmat, setiap syariatnya mengandung hikmah, dan setiap perintah-Nya datang
dengan kelembutan yang tidak menyulitkan. Kita bisa melihat keindahan itu dalam
banyak sisi kehidupan, salah satunya saat berbicara tentang ibadah puasa dan
ibadah haji. Ketika Ramadan datang, Allah ﷻ
memerintahkan kita untuk berpuasa, tapi tidak dengan paksaan. Yang sedang sakit
diberi kelonggaran untuk menunda. Yang sedang dalam perjalanan diperbolehkan
mengganti di hari lain. Bahkan bagi mereka yang sudah renta atau benar-benar
tak mampu, cukup membayar fidyah. Semua diberikan sesuai
kemampuan. Tidak ada beban yang dipaksakan. Tidak ada syariat yang menyesakkan.
Begitu juga dengan haji, rukun Islam yang kelima, yang hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu. Kata ‘mampu’ mencakup mampu secara fisik, juga secara finansial dan keamanan. Jika seseorang tidak mampu, maka kewajiban itu gugur darinya, tanpa dosa, tanpa paksaan, tanpa tekanan. Betapa lembutnya Islam mengatur hidup manusia, betapa sayangnya Allah ﷻ kepada hamba-hamba-Nya. Maka ketika masih ada yang tidak merasa bangga dengan Islam, mungkin yang perlu dilakukan bukan menyalahkan, tapi mencoba mengenal lebih dalam, karena semakin dikenali, semakin terasa bahwa Islam bukan agama yang berat, melainkan agama yang penuh kasih dan kemudahan. Allah ﷻ berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 97,
ﵟوَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَﵞ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap
Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari seluruh alam.” (QS Ali Imran: 97)
Dari ayat ini, kita tahu bahwa sejatinya Allah ﷻ tidak butuh dengan
haji kita. Kalau seandainya tak satu pun manusia di muka bumi ini yang berangkat
haji ke Baitullah, tidak ada satu pun jiwa yang menggemakan talbiyah di padang
Arafah, tidak ada kaki yang menapakkan langkahnya di tanah haram, hal itu tidak
akan mengurangi sedikit pun kemuliaan-Nya.
Allah tidak butuh kita berkorban waktu,
tenaga, dan harta untuk menunaikan haji. Dia tidak butuh kita meninggalkan
keluarga, pekerjaan, dan kenyamanan demi menuju tanah suci. Karena hakikatnya,
bukan Allah yang membutuhkan ibadah ini, tetapi kitalah yang butuh.
Kita memerlukan haji untuk membersihkan jiwa dan
menguatkan iman. Haji bukan tentang Allah yang menanti, tapi tentang kita yang
diberi kesempatan untuk memenuhi panggilan-Nya.
Ada satu pertanyaan penting yang sering muncul: Apakah
kewajiban haji ini harus segera dilaksanakan ketika semua syaratnya telah terpenuhi,
atau bolehkah ditunda hingga waktu yang dianggap lebih "tepat"?
Misalnya, ada seorang pemuda berusia 25 tahun, sukses, sehat, hartanya cukup, dan
tidak ada halangan apa pun untuk berangkat haji. Tapi ia berkata, “Nantilah,
kalau sudah menikah saja aku berangkat,” atau “Aku akan daftar nanti kalau
sudah umur 35.” Pertanyaannya: bolehkah dia menunda-nunda kewajiban yang
sebenarnya sudah mampu ia tunaikan?
Di antara berbagai pendapat yang ada, yang lebih kuat
adalah pendapat yang menyatakan bahwa jika seseorang telah memenuhi semua
syarat untuk berhaji, maka kewajiban itu harus segera dilaksanakan, tidak boleh
ditunda tanpa uzur yang syar’i. Karena sejatinya, tidak ada jaminan umur. Hari
ini kita sehat dan mampu, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa kondisi itu masih
ada tahun depan? Ibadah ini bukan sekadar tentang waktu yang kita rasa nyaman,
tapi tentang panggilan yang harus segera disambut.
Kita diperintahkan untuk segera melaksanakan ibadah,
termasuk haji, karena pada hakikatnya kita tidak pernah tahu apa yang akan
terjadi besok. Hari ini engkau sehat dan mampu, tapi siapa yang bisa menjamin
bahwa tahun depan engkau masih dalam kondisi yang sama? Hari ini engkau punya
rezeki cukup untuk berangkat, tapi apakah di umur 35 engkau masih sanggup?
Mungkin saat itu tubuhmu sudah mulai lemah, mungkin engkau jatuh sakit, mungkin
saja engkau telah wafat sebelum sempat mendaftar. Maka ketika seseorang menunda
haji padahal ia telah mampu secara fisik, finansial, dan keamanan, maka menurut
pendapat yang lebih kuat, ia telah berdosa karena menunda-nunda perintah Allah ﷻ tanpa alasan
yang syar’i. Bukankah Rasulullah ﷺ telah mengingatkan kita dalam sabdanya,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ
قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ،
وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ.
"Manfaatkanlah lima perkara sebelum
lima perkara: waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktumu sehatmu sebelum
datang sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu
sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu." (HR Al-Hakim, no. 8042, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Tak ada
satu pun di antara kita yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Hari ini engkau sehat, esok mungkin tidak. Hari ini
engkau punya harta, esok bisa jadi habis. Hari ini engkau hidup, esok belum
tentu. Maka ketika engkau berada dalam keadaan mampu dan engkau tahu bahwa ini
adalah rukun Islam, sebuah kewajiban yang agung, maka laksanakanlah. Jangan
menunda, jangan menunggu tua, jangan menunggu "nanti" yang belum
tentu datang. Kecuali jika memang ada alasan yang syar’i, seperti di negeri
kita ini, di mana seseorang sudah mendaftar tapi antrean begitu panjang hingga
harus menunggu 15 sampai 20 tahun lamanya, maka itu bukan penundaan karena
kelalaian, tapi karena sistem. Namun jika semua jalan sudah terbuka dan engkau
memilih menunda, maka waspadalah... karena engkau sedang menunda sesuatu yang
diwajibkan oleh Allah, dan kita tak tahu apakah kesempatan itu akan datang
kembali.
Ada sebuah hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama
yang berpendapat bahwa haji harus segera dilaksanakan ketika seseorang sudah
mampu. Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
من ملَك زادًا وراحلةً تُبِلِّغُه إلى بيتِ اللهِ، ولم يحجَّ؛ فلا عليه أن يموتَ يهوديًّا
أو نصرانيًّا، وذلك أن اللهَ يقول : "وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْه سَبِيلًا."
“Siapa yang sudah memiliki harta yang
cukup, kendaraan yang aman yang bisa mengantarkannya ke Baitullaah, namun belum
juga menunaikan Haji, maka jika dia mati, mati dalam keadaan yahudi atau
nasrani.” (HR
Tirmidzi: 812, didhoifkan oleh Syaikh Al-Albani)
Namun perlu dicatat, hadits ini statusnya dho’if
(lemah), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah utama. Akan tetapi, maknanya
didukung oleh perkataan yang shohih dari seorang sahabat besar, yaitu
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau dengan tegas mengatakan,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ مُوسِرٌ لَمْ يَحُجَّ، فَلْيَمُتْ عَلَى أَيِّ
حَالٍ شَاءَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا.
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan, namun
belum juga berhaji, maka silakan ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.” (HR Ibnu Abi Syaibah, no. 15061)
Jika hari ini engkau mampu, maka bergegaslah, jangan
tunggu sampai sakit menghalangi, jangan tunggu tua menjemput, jangan tunggu
dunia menyibukkan. Panggilan Allah itu mulia, dan kebaikan tidak pantas
ditunda. Bersegeralah menunaikan haji selama jalan masih terbuka, karena kita
tidak tahu apakah esok masih ada waktu, masih ada tenaga, masih ada kesempatan.
Jangan tunda kebaikan yang bisa kau raih hari ini, karena belum tentu esok
engkau masih punya daya untuk menyambutnya. Semoga Allah ﷻ memudahkan
setiap langkah kita menuju Baitullah.
Tulisan ini disadur dari kajian berjudul “Bulan Bulan Haji” yang
disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah
Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru




