Adabul Mufrod: Bagaimana Cara Menyikapi Thiyarah (Anggapan Sial)?
Adabul Mufrod: Bagaimana Cara Menyikapi Thiyarah (Anggapan Sial)?

Kita tidak boleh menjadikan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai sebab dari suatu kejadian, karena meyakini hal-hal tersebut sebagai sebab tanpa dalil yang benar adalah bentuk kesalahan dalam akidah yang bisa menjurus pada syirik, dan harus ditinggalkan. Maka, tatkala seseorang terjebak dalam tiyarah, lakukan sebagaimana yang Nabi ajarkan,

 

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ، فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ: ‌اللهُمَّ ‌لَا ‌خَيْرَ ‌إِلَّا ‌خَيْرُكَ، وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

“Barang siapa yang terhalangi dari keinginannya karena tathayyur, maka sungguh ia telah berbuat syirik.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa kaffarah (penebus dosa) untuk hal itu?”Beliau menjawab: “Katakanlah: Allahumma la khaira illa khairuka, wa la tayra illa tayruka, wa la ilaha ghairuka.”(Artinya: “Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan-Mu, dan tidak ada pertanda selain pertanda dari-Mu, dan tidak ada tuhan selain Engkau”)” (HR Ahmad no. 7045, dihasankan oleh Syekh Al-Arnauth)

 

Bagaimana jika yang dikhawatirkan itu benar-benar terjadi?

Dalam kondisi seperti ini, apabila seseorang melihat suatu pertanda lalu mengalami kejadian tidak menyenangkan, maka jangan sampai ia mengaitkan kejadian itu dengan pertanda tersebut. Seharusnya segera ia berdoa,

 

اللَّهُمَّ لَا يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ

“Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan selain Engkau, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu.”

 

Ada sebuah kisah nyata di sebuah kampung di Yaman, masyarakat meyakini bahwa hari Selasa adalah hari sial, sehingga mereka menghindari bepergian di hari itu. Keyakinan ini turun-temurun hingga dianggap kebenaran.

 

Suatu hari, seorang pemuda yang baru belajar agama ingin membuktikan bahwa keyakinan itu salah. Ia pun bersiap melakukan perjalanan di hari Selasa. Namun, takdir berkata lain, ia jatuh dari untanya. Masyarakat pun berkata, “Sudah kami bilang, hari Selasa itu sial!” Perjalanan pun batal. Selasa berikutnya ia mencoba lagi, dan terjatuh lagi. Keyakinan mereka semakin menguat.

 

Namun, pemuda itu tak menyerah. Setelah diobati, ia kembali mencoba di Selasa berikutnya, dan berhasil menempuh perjalanan dengan selamat. Ia pun berkata kepada kaumnya, “Kejatuhan yang kualami sebelumnya adalah takdir Allah, bukan karena hari Selasa. Allah tidaklh menjadikan hari Selasa sebagai hari sial.”

 

Inilah yang diajarkan Nabi : jika melihat sesuatu yang tidak disukai, jangan takut, dan ucapkan doa lalu bertawakal. Burung, angka, atau hari tertentu tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mendatangkan mudarat atau manfaat.

 

Seorang muslim harus yakin sepenuhnya bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah . Makhluk, termasuk hari-hari, tidak bisa memberi manfaat atau mudarat, bahkan kepada dirinya sendiri.

 

Hal ini sejalan dengan yang pernah Nabi ajarkan kepada sepupunya, Abdullah bin Abbas yang masih kecil,

"Nak, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, maka mohonlah hanya kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat manusia berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberikannya kecuali jika Allah telah menetapkannya untukmu. Dan jika mereka semua berkumpul untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali jika Allah telah menetapkannya atasmu. Pena-pena telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah mengering." (HR Tirmidzi no. 2516, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani)

 

Tulisan ini disadur dari kajian berjudul “Hidup berbahagia dengan optimis” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).