Hajar: Potret Muslimah Bertauhid
Hajar: Potret Muslimah Bertauhid

Tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang tidak mentauhidkan Allah, maka dia tidak akan masuk ke dalam surga. Oleh karenanya, bagi seorang muslimah, tidak diperbolehkan menikahi seorang lelaki yang tidak mentauhidkan Allah, karena sangat dikhawatirkan ia tidak bisa menjaga agamanya, ia lebih condong pada perasaannya, ia pun mengikuti apa yang diperintahkan oleh suaminya, dan akhirnya meninggalkan Islam.

 

Seorang wanita muslimah harus memiliki prinsip dalam kehidupannya, jangan sampai ia terbawa oleh hawa nafsunya. Caranya, ialah menyibukkan diri dengan menuntut ilmu agama. Ketika seorang wanita muslimah mentauhidkan Allah dengan sebenar-benarnya, meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah, dan semua yang terjadi sesuai dengan ketentuan Allah, maka hidupnya akan tenang. Adapun para wanita yang tidak mentauhidkan Allah, maka hidupnya akan penuh dengan ketidaknyamanan. Perhatikan firman Allah berikut,

 

ﵟٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَﵞ 

“Orang-orang yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (kesyirikan), maka mereka berhak mendapatkan keamanan, dan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS Al-An’am: 82).

 

Tidakkah engkau perhatikan bagaimana kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang meninggalkan istri dan putranya yang masih kecil, seorang diri di lembah yang gersang. Betapa kuatnya tauhid yang tertancap dalam jiwanya.

 

Setelah Hajar (istri Nabi Ibrahim) melahirkan Ismail, Allah memerintahkan Ibrahim untuk membawa istri dan anaknya ke Mekkah, maka beliau pun memenuhi perintah Allah. Beliau pergi menuju suatu tempat yang kelak tempat itu akan dibangun Ka’bah. Ketika sudah sampai di tempat tujuan, tiba-tiba Nabi Ibrahim ingin meninggalkan Hajar dan Ismail ke Syam. Ketika menyadari akan kepergian suaminya, Hajar pun bertanya, “Wahai Ibrahim, engkau mau pergi ke mana? Apakah engkau tega meninggalkan kami berdua di tengah-tengah lembah yang tidak ada seorang pun dan sesuatu pun di dalamnya?”

 

Hajar terus mengulang pertanyaannya hingga berkali-kali, dan Ibrahim tidak menoleh padanya. Beliau hanya diam dan terus berjalan. Sampai pada akhirnya, Hajar bertanya, “Apakah Allah yang telah memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Beliau pun menjawab, “Iya.” Mendegar jawaban dari suaminya, Hajar pun berkata, “Jika begitu, aku yakin, Allah pasti tidak akan menelantarkan kami.” (HR Bukhari, no. 3367)

 

Lihatlah bagaimana kekuatan tauhid yang ada dalam jiwa Hajar. Seandainya tauhid yang ada dalam jiwanya rapuh, niscaya dia tidak akan menerima dengan keputusan Nabi Ibrahim. Dia akan sedih, menangis, berteriak, atau bahkan sampai pingsan. Inilah Hajar, sosok wanita yang tauhidnya begitu kuat. Dia yakin, bahwa jika Allah yang memerintahkan, niscaya Allah tidak akan menyengsarakannya.

 

Ujian hidup, pasti menimpa seorang setiap muslim. Tidak akan bisa lepas darinya. Maka, tugas yang harus dikerjakan adalah bersabar, meyakini bahwa ini semua adalah ketetapan-Nya, dan melakukan beberapa sebab yang kiranya bisa memperingan ujian tersebut. Demikianlah ciri dari seorang mukminah sejati.

 

Allah berfirman,

ﵟقُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَﵞ 

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Tidaklah ada musibah (ujian) yang menimpa kami melainkan itu semua telah Allah tetapkan bagi kami. Dia adalah pelindung kami. Hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakal.” (QS At-Taubah: 51).

 

Perhatikan ayat di atas, ketika orang-orang yang beriman ditimpa musibah, diuji oleh Allah , mereka tetap berbaik sangka kepada-Nya, bahkan mereka mengatakan, “Huwa maulaanaa (Dia adalah pelindung kami).” Mereka tidak menyalahkan Allah. Mereka juga  tidak membangkan kepada-Nya. Demikianlah keimanan sejati.

 

Selain meyakini bahwa Allah-lah yang akan menyelamatkan para hamba-Nya dari berbagai macam musibah, ciri lain dari sosok wanita yang salehah adalah senantiasa menjaga harga diri dan kehormatannya ketika suaminya sedang tidak berada di rumah. Dia yakin, meskipun suaminya tidak di rumah, masih ada Allah yang mengawasinya. Allah selalu melihatnya.

 

Pernah ada sebuah kisah yang dibawakan oleh al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, dari Abdullah bin Zaid bin Aslam, ia menceritakan,

“Pada suatu malam, aku sedang bersama dengan Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu keliling kota. Tiba-tiba di tengah perjalanan beliau merasa lelah, kemudian bersandar di samping dinding rumah. Saat itu, tidak ada seorang pun yang melihat beliau. Tiba-tiba beliau terdengar seorang wanita berbicara kepada putrinya,

“Wahai nak, campurlah susu dengan air (agar terlihat banyak)!”

Putrinya pun menjawab,

“Bagaimana mungkin aku mencampur antara susu dengan air, sementara pemimpin kita (yaitu Umar bin al-Khaththab) melarang kita agar tidak berbuat curang?!”

Ibunya memberikan alasan,

“Wahai nak, orang-orang di luar sana, mereka semua juga melakukan hal ini, mereka mencampur antara susu dengan air sehingga terlihat banyak ketika di jual nanti. Maka, sekarang campurlah susu ini dengan air, sebagaimana yang mereka lakukan. Percayalah, pemimpin kita tidak akan mengetahuinya!”

Mendengar apa yang diucapkan oleh ibunya, sang putri pun mengingatkan,

“Wahai ibu, apa yang kau ucapkan itu benar, bahwa pemimpin kita tidak akan mengetahuinya, namun ingatlah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kita lakukan. Sungguh, aku tidak akan pernah melakukan perbuatan curang ini!”

 

Ketika itu, Umar radhiyallahu’anhu yang sedang berada di samping rumah mereka, merasa takjub dengan apa yang diucapkan oleh anak perempuan tersebut. Sifat muroqobah (senantiasa merasa diawasi oleh Allah) menancap kokoh pada jiwanya. Dan hal inilah yang membuat Umar di keesokan harinya menyuruh putranya yang bernama ‘Ashim untuk mendatangi rumah si wanita tersebut, dan memerintahkannya untuk menikah dengannya, di mana dari pernikahan tersebut, lahirlah sosok seorang wanita salehah yang kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan, dan kemudian dari pernikahan itu, lahirlah pemimpin yang bernama Umar bin Abdul Aziz, cucu dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu.  (Shifah ash-Shafwah, 2/203-204)

 

Seorang muslimah sejati, dia paham betul bahwa balasan sesuai dengan ujian yang menimpanya, sehingga dia tidak akan mengeluh jika mendapatkan ujian dari Allah . Perhatikan firman Allah berikut,

 

ﵟٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡۚ لَا ظُلۡمَ ٱلۡيَوۡمَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِﵞ 

“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (QS Ghafir: 17).

 

 

Tulisan ini disadur dari serial kajian serial rukun iman berjudul “Iman Kepada Allah” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).