Adabul Mufrod: Jangan Saling Mengejek
Adabul Mufrod: Jangan Saling Mengejek

Allah telah menurunkan peringatan yang sangat jelas dalam Al-Quran tentang larangan untuk mengejek dan memperolok orang lain. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru, karena sudah ada sejak zaman dahulu. Bahkan di era sekarang, perilaku mengejek, menghina, atau merendahkan orang lain justru semakin marak dan beragam bentuknya. Salah satunya yang paling sering kita jumpai adalah praktik ‘bullying,’ baik secara verbal melalui ucapan yang menyakitkan, maupun secara fisik dengan tindakan yang merendahkan atau menyakitkan.

 

Subhanallah, lebih dari 1400 tahun yang lalu, Allah telah menurunkan firman-Nya yang sangat relevan dengan kondisi hari ini. Dalam surat Al-Hujurat ayat 11, Allah menegaskan,


ﵟيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَﵞ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim”. (QS Al Hujurat: 11)

 

Pesan ini begitu dalam dan penuh hikmah. Allah mengingatkan kita bahwa bisa saja orang yang menjadi bahan ejekan justru jauh lebih mulia di sisi-Nya daripada orang yang merasa lebih unggul dan merendahkan orang lain. Sikap merendahkan orang lain sering kali lahir dari perasaan bahwa diri sendiri lebih baik.

 

Orang yang mengejek biasanya merasa lebih cerdas, lebih kaya, atau lebih layak dihormati dibanding orang yang ia rendahkan. Padahal, siapa kita di hadapan Allah? Kita tidak pernah tahu seperti apa kedudukan seseorang di sisi-Nya.

Justru bisa jadi orang yang kita ejek, kita hina, kita remehkan, justru jauh lebih baik di hadapan Allah daripada diri kita sendiri.

 

Mengejek dan merendahkan orang lain adalah perbuatan yang haram. Termasuk dalam bentuk bullying, baik secara lisan maupun tindakan. Sering kali, bahan ejekan itu sepele tapi menyakitkan, soal kecerdasan, cara berpakaian, kondisi ekonomi, bahkan penampilan. Orang yang datang kajian dengan pakaian sederhana, sepatu yang sudah usang, atau tidak mengikuti tren mode dianggap layak untuk ditertawakan.

 

Namun, siapa sangka, ketika dunia meremehkan orang itu, bisa jadi ia sudah dibangunkan sebuah istana di surga. Bisa jadi taman-taman surganya sedang digarap, dan para bidadari sedang bersolek menyambut kehadirannya kelak. Betapa ruginya orang yang suka merendahkan, karena boleh jadi justru yang mereka rendahkan jauh lebih mulia di akhirat nanti.

 

Menariknya, dalam ayat yang sama, surat Al-Hujurat ayat 11, Allah tidak hanya menyebutkan larangan bagi kaum laki-laki, tapi juga secara khusus menyebut kaum perempuan. Padahal, dalam banyak hukum Islam, perintah atau larangan yang ditujukan kepada laki-laki juga berlaku untuk perempuan secara umum. Namun, dalam ayat ini, Allah menyebut perempuan secara spesifik, seolah memberi peringatan yang lebih tajam agar kaum wanita benar-benar menjaga sikap dan lisan mereka.

 

Berapa banyak perempuan menjadi korban ejekan dari sesama perempuan, karena penampilan, warna kulit, bentuk tubuh, atau gaya berpakaian. Ada yang dianggap tidak cantik, tidak modis, atau tidak mengikuti standar kecantikan zaman ini. Padahal, kecantikan secara lahiriah bukanlah penentu kemuliaan di sisi Allah . Boleh jadi engkau merasa lebih cantik, lebih menarik, lebih menawan, tetapi wanita yang kau remehkan justru jauh lebih mulia di mata Allah .

Ia mungkin tak memikat pandangan manusia, tapi hatinya bersih, imannya kuat, dan akhlaknya menyejukkan. Sementara engkau sibuk menghias rupa, dia sedang dihiasi dengan kebaikan perangainya yang kelak bersinar di hadapan Rabb-nya.

 

Allah juga melanjutkan peringatannya dalam ayat itu dengan firman-Nya: “Janganlah kalian mencela diri kalian sendiri dan jangan saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” Sungguh, orang-orang beriman itu ibarat satu tubuh. Bila ada satu bagian yang sakit, maka yang lain pun ikut merasakannya. Rasulullah bersabda,

 

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ ‌كَالْبُنْيَانِ؛ ‌يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Sesungguhnya orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain.” (HR Bukhari, no. 485 dan Muslim no. 2585)


Dalam hadits yang lain, Rasulullah bersabda,


مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit, dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam.” (HR Muslim, no. 2586)

 

Maka bagaimana mungkin kita tega menyakiti sesama mukmin, saudara kita sendiri, dengan gelar-gelar yang merendahkan? Iman itu seharusnya menjadi pemulia, bukan penghina. Seorang mukmin tidak pantas memberikan gelar buruk kepada saudaranya yang juga beriman. Namun nyatanya, di masyarakat, kebiasaan memberi julukan tidak menyenangkan itu masih sering terjadi.

 

Sering kali gelar itu lahir dari kebiasaan atau latar belakang seseorang. Ada yang dipanggil “Fulan Kambing” karena berjualan kambing, atau “Fulan Kodok” karena masa kecilnya suka menangkap kodok. Julukan itu mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, tapi menyakitkan dan memalukan bagi yang dijuluki.

 

Inilah yang pernah terjadi di Madinah saat Rasulullah datang. Sebagian orang memberikan julukan-julukan yang tidak disukai kepada orang lain. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran dari Allah bahwa dalam Islam, menjaga kehormatan dan perasaan orang lain adalah perkara yang sangat besar. Panggillah orang dengan nama yang baik, yang ia senangi, bukan dengan julukan yang mempermalukan. Karena bisa jadi, satu kata yang menyakitkan dari kita, menjadi penyebab keretakan hubungan.

 

Allah pun menutup ayat ini dengan peringatan yang tajam: "Barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." Mengapa zalim? Karena ia terus mengulang perbuatannya, mengejek, merendahkan, memperolok, tanpa pernah merasa salah. Setiap bertemu temannya, ia ulangi ejekan yang sama. Ia tertawa di atas penderitaan orang lain. Ia anggap ringan dosa mencela, padahal dosanya bisa sangat berat di akhirat.

 

Rasulullah menggambarkan kondisi tragis di hari kiamat nanti. Beliau bersabda bahwa orang yang bangkrut (muflis) dari umat ini bukanlah orang yang tak punya harta dunia, melainkan mereka yang datang pada hari kiamat dengan pahala sholat, puasa, dan zakat, tetapi juga membawa dosa mencela, memaki, menghina, bahkan memfitnah orang lain. Beliau bersabda,


‌إِنَّ ‌الْمُفْلِسَ ‌مِنْ ‌أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Muflis (orang yang bangkrut) dari umatku adalah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim 2581).

 

Sungguh ironis, orang yang rajin ibadah, yang tampak sholeh, bisa bangkrut di akhirat hanya karena ia tak menjaga lisannya. Hanya karena ia merasa berhak menjatuhkan orang lain di kolom komentar, di obrolan ringan, atau dalam candaan yang merendahkan. Padahal, Allah sudah memperingatkan, "Boleh jadi orang yang kamu hina lebih baik daripada dirimu."

 

Maka, jangan tunggu sampai hari itu tiba. Mari bertobat sekarang, sebelum terlambat. Jaga lisan, bersihkan hati. Karena akhlak kepada sesama manusia adalah salah satu syarat keselamatan di akhirat, bukan hanya hablum minallah, tapi juga hablum minannaas

Ada ungkapan bijak dalam bahasa Arab,


اِحْذَرْ لِسَانَكَ أَنْ تَقُولَ فَتُبْتَلَى، إِنَّ البَلَاءَ مُوكَّلٌ بِالْمَنْطِق

“Jagalah lisanmu untuk tidak berbicara sembarangan yang membuat engkau ditimpa musibah. Sebab musibah itu bergantung pada ucapan.” (Tafsir Al-Utsaimin, Ibnu Utsaimin, hlm. 93)

 

Sungguh benar ucapan ini. Banyak luka bermula dari lisan. Banyak kerusakan hubungan dimulai dari satu kalimat yang tak dipikirkan. Banyak azab turun bukan karena perbuatan tangan, tetapi karena kelancangan lidah. Maka, jika kita ingin selamat dunia akhirat, mulailah dari menjaga lisan. Betapa waspadanya para salafus shalih dalam menjaga lisannya. Ibrahim An-Nakha’i, salah seorang tabi’in pernah berkata,


إِنِّي لَأَرَى الشَيْء أَكْرَهَه؛ فَمَا يَمْنَعَنِي أَن أَتَكَلَّمَ فِيْهِ إِلَّا مَخَافَة أَن أَبْتَلِي بِمِثْلِهِ

"Aku melihat sesuatu yang tidak aku sukai. Tapi aku tidak membicarakannya karena takut aku akan diuji dengan hal yang sama." (HR Baihaqi dalam Syu`abul Iman, no. 6353)

 

Itulah akhlak para pendahulu kita. Mereka tidak mudah mencela, bahkan terhadap keburukan yang mereka lihat langsung. Mereka lebih baik tidak cepat mengomentari atau menghina. Karena mereka sadar, lisan yang tidak dijaga bisa membawa bala, dan tidak ada yang menjamin kita aman dari ujian yang sama. Lantas, bagaimana mungkin kita yang ilmunya sedikit, amalnya belum tentu diterima, masih berani meremehkan dan mengejek saudara kita sendiri?

 

Mungkin seseorang mengejek Fulan karena ia pincang, atau karena kekurangan fisik lainnya. Mungkin ia dianggap aneh, berbeda, tidak sempurna. Tapi siapa yang tahu? Boleh jadi, sebelum ajal menjemput, Allah justru memberikan balasan yang adil kepada si pengejek. Boleh jadi, ia sendiri akan diuji dengan hal yang sama, atau bahkan lebih berat.

Dalam hidup ini, roda terus berputar. Hari ini kita menertawakan, besok bisa jadi kita yang ditertawakan. Hari ini kita merasa sempurna, esok bisa jadi Allah cabut nikmat yang selama ini kita banggakan.

 

Hari ini, saat kita bisa dengan mudah menulis komentar, membuat status, atau menyebar candaan di media social, hendaknya kita lebih berhati-hati. Jangan sampai kebiasaan mengejek jadi hiburan, dan penghinaan jadi candaan. Setiap kata yang keluar dari lisan dan jari kita, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

 

Semoga Allah membersihkan hati kita dari kesombongan, menjauhkan lisan kita dari penghinaan, dan menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang menjaga kehormatan sesama mukmin.

 

Tulisan ini disadur dari serial kajian kitab Adabul Mufrod karya Imam Al-Bukhari berjudul “Jangan Saling Mengejek yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).