
.png
)
Negeri kita yang tercinta pada hakikatnya tidak lain adalah kumpulan dari rumah tangga. Ketika rumah tangga terbebas dari luka, ketika kedamaian hadir di setiap keluarga, insyaAllah negeri ini pun akan turut merasakan kedamaian itu. Segalanya bermula dari rumah tangga, tempat di mana manusia dilahirkan, dibesarkan, dan dididik.
Betapa banyak rumah tangga yang sejatinya diawali dengan cinta dan penuh kasih sayang. Suami istri bersama-sama merajut mimpi, bahkan saling berbicara tentang harapan untuk bisa masuk surga bersama. Sang istri menceritakan cita-citanya, keinginan hatinya; sang suami pun berbagi angan dan visi hidupnya.
Namun, berbicara tentang …
“…rumah tangga yang tanpa duka terasa mustahil. Bahkan di rumah Nabi ﷺ pun pernah terjadi piring yang pecah. Suara yang meninggi pernah terdengar keluar dari rumah beliau. Ada air mata, ada kesedihan, ada hal-hal kecil yang menyakitkan.”
Namun semua itu seperti garam yang menyempurnakan rasa dalam masakan. Lalu, bagaimana jika luka justru menguatkan? Bagaimana jika masalah justru mematangkanmu sebagai seorang suami?
Ternyata, berbagai ujian dalam rumah tangga justru membuat sebagian orang semakin dekat kepada Allah ﷻ, dan inilah yang kita harapkan. Maka, bagaimana cara menyikapi masalah tersebut? Dua insan yang berbeda berkumpul dalam satu rumah, masing-masing dengan latar belakang dan pemikiran yang berbeda. Maka, penyelesaiannya harus dengan ilmu.
Hari ini, hal pertama yang dibutuhkan umat adalah ilmu. Ilmu sangat diperlukan dalam setiap urusan, termasuk dalam pernikahan. Tetapi sayangnya, hal ini sering diremehkan. Padahal, rumah tangga adalah fondasi bagi tegaknya sebuah negeri. Kita perlu membahas rumah tangga dengan lebih dalam dan serius.
“Jangan melangkah menuju pernikahan jika belum memiliki ilmu.”
Jika belum memiliki ilmu, belajarlah. Belajar dari mana? Salah satunya adalah dari orang tua kita.
Yang kedua adalah niat. Apa sebenarnya niat kita menikah? Sebagian laki-laki menikah hanya karena tidak enak terus-menerus disebut jomblo. Ketika ditanya, "Kapan menikah?" akhirnya ia menikah karena terpaksa. Niatnya hanya untuk menghindari cap jomblo. Ada pula yang menikah karena sebelumnya telah terjatuh dalam dosa. Mereka berzina, lalu sang wanita hamil. Masalah pun menjadi panjang. Lalu bagaimana anak itu akan dinasabkan?
Bagaimana mungkin engkau mengharapkan rumah tangga tanpa luka, jika ia dimulai dari luka? Solusinya adalah meniatkan pernikahan sebagai bentuk ibadah kepada Allah ﷻ. Kalaupun ada yang sudah terlanjur jatuh dalam dosa, maka hendaklah ia bertobat dengan sungguh-sungguh. Tobat bukan berarti melanjutkan dosa itu, tetapi menyudahinya. Karena ada yang beranggapan, “Kalau saya menikahi orang yang saya zinai, maka dosa saya terhapus.” Padahal, itu bukanlah cara yang benar untuk menghapus dosa.
Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang 3 harta yang paling utama, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: أُنْزِلَتْ فِي الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ، لَوْ عَلِمْنَا أَيُّ المَالِ خَيْرٌ فَنَتَّخِذَهُ؟ فَقَالَ: أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ، وَقَلْبٌ شَاكِرٌ، وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ
Sebagian sahabat berkata: 'Telah diturunkan ayat tentang emas dan perak. Seandainya kami tahu jenis harta apa yang terbaik, niscaya kami akan memilikinya.' Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Harta yang paling utama adalah: Lisan yang senantiasa berdzikir, Hati yang senantiasa bersyukur, Dan istri yang beriman, yang membantu suaminya dalam urusan imannya.'"
(HR At-Tirmidzi, no. 3094)
Pertama, kadang kita melihat rumah seseorang yang tampak indah dan mewah.
Lalu kita berkata, “Ya Allah, enak sekali yang tinggal di sini.” Padahal, bisa jadi rumah itu sudah tak lagi berpenghuni, penghuninya hidup masing-masing, jauh dari kebersamaan dan ketenangan. Berbeda dengan seseorang yang hidupnya sederhana, tetapi naik motor sambil berdzikir, masuk pasar berdzikir, Ke mana pun dia pergi, lisannya tak lepas dari menyebut nama Allah ﷻ. Inilah orang yang hatinya selalu ingat kepada Allah ﷻ.
Yang kedua, orang yang pandai bersyukur selalu melihat nikmat yang diberikan Allah. Sebagian dari kita sering merasa susah, setiap kali ada masalah, langsung cerita ke banyak orang. Jika mendapatkan rezeki, jarang sekali cerita, tetapi jika ada masalah, satu kampung, bahkan se-Indonesia bisa tahu karena diangkat ke status. Ingatlah, yang kedua, meskipun dalam keadaan sakit atau di mana pun engkau berada, bersama siapa pun Anda hidup, tetaplah bersyukur.
Yang ketiga, istri yang beriman, yang membantu suaminya dalam urusan akhirat. Bukan hanya membantu suami membangun rumah, membeli tanah, atau membeli mobil. Istri yang shalihah adalah yang bangunkan suaminya untuk tahajud di malam hari, bukan hanya untuk kerja pagi-pagi, dia membangunkan suaminya untuk salat subuh, itu harta yang paling mulia. Rasulullah ﷺ bersabda,
الدُّنْيَا مَتَاعٌ. وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah.”
(HR Muslim, no. 1467)
Niatkanlah pernikahan sebagai bentuk ibadah kepada Allah ﷻ. Jika ada yang bertanya, “Ustadz, bagaimana kalau dulu saya menikah dengan niat yang salah?” Jawabannya: perbaikilah niatmu sekarang. Engkau masih bisa memperbaiki. Kemudian, jangan lupakan doa. Karena hati manusia berada di tangan Allah ﷻ. Cinta dan kasih sayang adalah nikmat yang Dia anugerahkan kepada para hambanya. Allah ﷻ berfirman,
ﵟوَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡۚ لَوۡ أَنفَقۡتَ مَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مَّآ أَلَّفۡتَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ أَلَّفَ بَيۡنَهُمۡۚ إِنَّهُۥ عَزِيزٌ حَكِيمٞﵞ
"Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka. Sekiranya kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi (demi orang yang bertikai agar berdamai), niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(QS Al-Anfal: 63)
Karena itu, suami istri harus senantiasa berdoa, memohon kepada Allah ﷻ, dan bertawakal hanya kepada-Nya. Jangan pernah bersandar pada kekuatan diri sendiri.
Ilmu pertama yang harus dipelajari dalam kehidupan rumah tangga adalah ilmu tentang hak dan kewajiban. Jangan langsung bertanya, “Apa kewajiban istri saya?” Sebagian suami hanya fokus pada haknya, tetapi lupa mempelajari apa kewajibannya sebagai seorang suami. Yang seharusnya dipelajari terlebih dahulu adalah: apa kewajiban saya sebagai suami? Yakni menuntut ilmu. Menuntut ilmu itu wajib, bukan sekadar anjuran. Rasulullah bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
"Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim." (HR Ibnu Majah, no. 224)
Ketika suami dan istri memahami hak dan kewajiban masing-masing, dan mereka saling menjalankannya, insyaAllah itu akan menjadi pupuk bagi cinta yang sejak awal telah ditanamkan. Salah satu kewajiban suami adalah memberikan nafkah, karena laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga. Allah ﷻ berfirman,
ﵟٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚﵞ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...”
(QS An-Nisa: 34)
Mengapa laki-laki menjadi pemimpin dalam rumah tangga?
Pertama, karena Allah telah memberikan jiwa kepemimpinan kepada laki-laki. Secara fitrah, laki-laki lebih mengedepankan akal daripada perasaan. Hak talak pun berada di tangan suami, karena jika diberikan kepada istri, bisa jadi pernikahan mudah bubar hanya karena emosi sesaat. Betapa banyak suami yang datang ke masjid masih berstatus suami, lalu pulang dalam status duda karena istrinya tersinggung dan langsung minta cerai. Sedangkan laki-laki, meskipun bisa digugat cerai, istri tidak bisa menceraikan dirinya sendiri.
Kedua, karena suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah. Para ulama menjelaskan bahwa banyak konflik rumah tangga terjadi karena ketidaktahuan tentang hukum-hukum syariat. Mereka tidak belajar, tidak tahu hak dan kewajiban masing-masing.
Ilmu yang kedua adalah mengenal pasangan hidup. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka penting bagi suami istri untuk saling memahami dan menerima perbedaan itu. Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ. لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ. فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ. وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا. وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Ia tidak akan bisa lurus (sempurna) sesuai dengan keinginanmu. Jika engkau ingin menikmatinya (menerimanya), maka terimalah ia dengan segala kebengkokannya. Namun jika engkau mencoba meluruskannya (dengan keras), maka engkau akan mematahkannya. Dan mematahkannya adalah menceraikannya.”
(HR Muslim, no. 1468)
Hadis ini bukan untuk merendahkan wanita, tapi untuk mendidik para suami agar tahu bagaimana memperlakukan istri mereka. Sebagian wanita mungkin merasa itu bentuk pelecehan, padahal maksudnya justru agar wanita dihormati dan dihargai, serta agar para laki-laki belajar bersikap bijak dalam bermuamalah dengan perempuan.
Sayangnya, sebagian dari kita sering memperbesar masalah kecil. Itulah salah satu alasan mengapa luka dalam hubungan menjadi semakin parah. Padahal, banyak luka yang sebenarnya sudah sembuh, tetapi kembali memburuk karena terus diungkit-ungkit. Nabi ﷺ mengajarkan agar kita melihat kelebihan pasangan, bukan hanya kekurangannya. Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً. إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Seorang mukmin (suami) tidak boleh membenci seorang mukminah (istri). Jika ia tidak menyukai satu sifat darinya, maka hendaknya ia ridha dengan sifat lainnya.”
(HR Muslim, no. 1469)
“Jika ada perilaku istri yang tidak disukai, bukankah masih banyak sisi lain dari dirinya yang bisa membuatmu mencintainya? Lihatlah pada kelebihannya. Jangan hanya fokus pada kekurangannya.”
Allah ﷻ berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.”
(QS An-Nisa: 19)
Maksudnya, memperlakukan istri dengan cara yang ma’ruf bukan hanya sekadar memenuhi hak dan kewajiban. Suami sebaiknya tidak hanya memberikan hak istri, tapi juga memberikan “bonus” melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak wajib, tetapi dilakukan demi membahagiakan pasangan. Begitu pula istri terhadap suaminya. Allah ﷻ berfirman,
فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا
“Maka jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
(QS An-Nisa: 19)
Mungkin istrimu tidak pandai memasak, tetapi ia pandai membaca Al-Qur’an. Mungkin ia tidak bisa menyajikan makanan dengan sempurna, tetapi ia memberikan ketenangan dalam ibadah dan menjaga akhlak. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka, fokuslah pada kelebihan pasanganmu, bukan kekurangannya.
Selain itu, penting untuk mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai oleh pasangan. Hal ini akan sangat membantu dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Engkau bisa membahagiakan istri dengan hadiah. Namun, jika tak mampu memberi hadiah secara materi, berikan perhatian, pujian, dan sanjungan yang tulus, itu sudah cukup membahagiakan.
Ada dua hal penting yang juga harus diingat dalam membangun rumah tangga:
Pertama, jangan membawa makanan atau harta haram ke dalam rumah. Harta haram bisa menjadi sumber penyakit dalam hubungan. Tidaklah dua orang yang saling mencintai kemudian berpisah, kecuali karena dosa yang dilakukan salah satu dari mereka. Dan di antara dosa yang berdampak langsung adalah memakan makanan haram.
Kedua, istri hendaknya mendukung dan bersabar bersama suami. Ada kalanya, karena tuntutan yang berlebihan, suami tergoda untuk mencari jalan pintas, bekerja dengan cara yang tidak benar atau bahkan terjerumus dalam praktik riba hanya demi memenuhi tuntutan dunia seperti memiliki rumah dengan segera.
Rasulullah ﷺ sendiri pernah memboikot kesembilan istrinya. Beliau pernah tinggal di sebuah kebun yang terdapat sebuah rumah kecil, dan menetap di sana selama sebulan tanpa mendatangi para istri. Beliau melakukan itu sebagai bentuk hajr (menjauh) dari mereka, karena mulai munculnya tuntutan duniawi yang berlebihan dan konflik-konflik yang seharusnya bisa dihindari. Hingga akhirnya, turunlah firman Allah ﷻ ,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا 28 وَإِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ فَإِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنَٰتِ مِنكُنَّ أَجۡرًا عَظِيمٗا
(28) Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (29) Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.
(QS Al Ahzab: 28-29)
Maka Nabi ﷺ memberikan keputusan, dan Allah ﷻ menurunkan firman-Nya. “Wahai istri-istri Nabi, jika yang kalian inginkan adalah keridaan Allah, ketaatan kepada Rasulullah ﷺ, dan kehidupan akhirat, maka itulah tujuan yang seharusnya diutamakan.” Namun, jika ambisi kalian hanyalah kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka ketahuilah, apa yang sedang diperjuangkan oleh lebih dari 8 miliar manusia di dunia ini, sesungguhnya tidak lebih berharga dari satu sayap nyamuk di sisi Allah ﷻ.
Ingatlah, ambisi utama kita seharusnya adalah kehidupan akhirat. Dunia ini kita makmurkan dengan ketaatan kepada Allah ﷻ. Rumah tangga kita jaga dengan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya ﷺ. InsyaAllah, dengan itu, luka-luka dalam rumah tangga akan terobati, dan kehidupan pun menjadi berkah.
Tulisan ini disadur dari kajian berjudul “Rumah Tangga Tanpa Luka” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru
.png
)


