Riyadush Shalihin: Taubatnya Wanita yang Berzina
Riyadush Shalihin: Taubatnya Wanita yang Berzina

Disebutkan dalam hadits tentang taubatnya wanita yang berzina. Diriwayatkan oleh Abu Nujaid bin Imran Al-Khuza’i radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

 

أنَّ امْرَأةً مِنْ جُهَيْنَةَ أتَتْ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم وَهِيَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى، فقالتْ: يَا رسولَ الله، أصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَيَّ، فَدَعَا نَبيُّ الله صلى الله عليه وسلم وَليَّها، فقالَ: «أَحْسِنْ إِلَيْهَا، فإذا وَضَعَتْ فَأْتِني» فَفَعَلَ فَأَمَرَ بهَا نبيُّ الله صلى الله عليه وسلم فَشُدَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ، ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا. فقالَ لَهُ عُمَرُ: تُصَلِّي عَلَيْهَا يَا رَسُول الله وَقَدْ زَنَتْ؟ قَالَ: «لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أهْلِ المَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ، وَهَلْ وَجَدْتَ أَفضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بنفْسِها لله عز وجل؟!

“Ada seorang wanita dari Bani Juhainah mendatangi Rasulullah  sedangkan ia dalam keadaan hamil karena zina. Wanita ini lalu berkata kepada Rasulullah , “Ya Rasulullah, aku telah melakukan sesuatu yang perbuatan tersebut layak mendapati hukuman rajam. Laksanakanlah hukuman had atas diriku.” Nabi  lantas memanggil wali wanita tersebut lalu beliau berkata pada walinya, “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan (kandungannya), maka datanglah padaku (dengan membawa dirinya).” Wanita tersebut pun menjalani apa yang diperintahkan oleh Rasulullah . Setelah itu, beliau meminta wanita tersebut dipanggil dan diikat pakaiannya dengan erat (agar tidak terbuka auratnya ketika menjalani hukuman rajam). Kemudian saat itu diperintah untuk dilaksanakan hukuman rajam. Setelah matinya wanita tersebut, beliau menyolatkannya. ‘Umar pun mengatakan pada Nabi , “Engkau menyolatkan dirinya, wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah ?” (HR Muslim no. 1696).

 

Beberapa faedah dari hadis tersebut adalah:

 

Bentuk Hukuman Allah

Hukuman dari Allah atas dosa yang kita lakukan dapat kita rasakan di dunia lebih dulu atau diakhirkan di akhirat.

 

1.      Hukuman(had) di dunia yang sudah ditentukan oleh syariat, yaitu jika seseorang melanggar sesuatu, maka hukumannya berupa hal tertentu, seperti zina bagi yang belum menikah, maka dia akan dicambuk. Adapun yang sudah menikah, maka dia akan dirajam.

2.      Hukuman dunia berupa musibah, seperti sakit, kehilangan harta benda atau orang yang dicintai.

3.      Adapun hukuman yang diakhirkan di akhirat, dosa-dosanya ditumpuk sehingga dia kelak diazab atas semua dosa yang dia lakukan.

 

Wanita Hamil Ditunda Hukumannya

Ulama menjelaskan bahwa tidak boleh menegakkan had (hukuman), baik rajam maupun cambuk terhadap wanita yang hamil karena zina sampai dia melahirkan. Hal ini berdasarkan hadits di atas, Rasulullah memerintahkan wanita tersebut pulang dan menunda hukumannya sampai dia melahirkan. Bahkan, jika setelah lahir dan anaknya masih memerlukannya, maka harus ditunda. Ini merupakan sisi keadilan dari syariat Islam dan bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa hukum rajam atau cambuk tidak berperikemanusiaan.

 

Apakah Orang yang Melakukan Dosa Besar Harus Melapor?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Orang yang berbuat dosa tidak wajib mendatangi penguasa dan mengakui perbuatannya. Bahkan yang wajib adalah bertaubat kepada Allah dan menutupi perbuatannya.” Tetapi jika dia merasa akan mengulanginya, karena lingkungan yang tidak mendukung atau sulit bertaubat yang benar, maka tidak mengapa dia menyerahkan diri untuk ditegakkan hukuman atasnya.

 

Nabi Tetap Menshalatkan Jenazah Wanita Tersebut

Setelah wanita itu dirajam, Nabi menshalatinya. Lalu, Umar bin Khatab bertanya, apakah pantas menshalati orang yang berzina? Nabi menjawab,

 

“Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah  ?”

  

Kisah dalam hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa dosa besar bisa dihapuskan jika ia benar-benar kembali kepada Allah dengan taubat yang tulus. Taubat yang benar bukan hanya sekadar lisan yang mengucap istighfar, melainkan perubahan nyata dari hati tulus, niat yang sungguh-sungguh dan perbuatan.



Tulisan ini disadur dari serial kajian kitab Riyadus Sholihin karya Imam An-Nawawi “Bab Taubat Pertemuan 2” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).