
Perlu diketahui, ketika seorang laki-laki ingin
menikahi perempuan, maka ia juga harus memahami siapa yang berhak menjadi wali
bagi calon istrinya. Seringkali kita dengar kasus pernikahan tanpa restu orang
tua. Lalu pasangan tersebut kabur dan menikah melalui perantara seorang ustadz atau kiai. Mereka
beranggapan bahwa selama proses akad disaksikan oleh tokoh agama, maka
pernikahannya sah. Namun, pertanyaannya adalah: Siapa yang menjadi wali
dalam pernikahan tersebut?
Apakah seorang ustaz dapat menjadi wali bagi
murid-muridnya? Ini adalah persoalan
yang sangat penting untuk dipahami. Jangan sampai seseorang menikah, tetapi
ternyata pernikahannya tidak sah, karena tidak terpenuhi
salah satu syaratnya, yaitu harus dengan wali yang sah. Siapa yang dimaksud dengan wali nikah?
Wali adalah seseorang yang diberi kekuasaan untuk
mengelola urusan harta atau jiwa orang lain. Misalnya, wali bagi anak yatim.
Ketika seorang ayah meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, maka
anaknya yang masih kecil secara otomatis menjadi pemilik harta tersebut. Jika
ia adalah satu-satunya ahli waris laki-laki, maka dia akan mendapat bagian
terbanyak. Namun, karena belum mampu mengelola hartanya sendiri, maka
dibutuhkan wali yang bertanggung jawab atas pengelolaan hartanya.
Selain mengelola harta, wali juga bertugas menjaga dan
mengatur urusan jiwa serta keputusan besar dalam hidup seseorang, seperti
pernikahan. Jumhur ulama (mayoritas ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak
boleh menikah tanpa wali. Pendapat ini didasarkan pada dalil dari hadits dan
atsar para sahabat. Bahkan, disebutkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di
antara para sahabat.
Sebagian orang terkadang mencari keringanan dalam
hukum agama, bukan berdasarkan ilmu, tetapi karena dorongan hawa nafsu. Mereka
mengambil pendapat minoritas untuk membenarkan pernikahan tanpa wali, padahal
pendapat jumhur ulama sangat jelas. Hadits yang menjadi dasar utama adalah
sabda Rasulullah ﷺ,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
"Tidak sah pernikahan tanpa
wali." (HR Abu Dawud, no. 2085, dishahihkan oleh Syekh
Al-Albani)
Sebagian orang mungkin berargumen bahwa pernikahan
Nabi ﷺ dengan Ummu Salamah tidak disebutkan siapa walinya. Namun, para
ulama menjelaskan bahwa peristiwa tersebut bukan dalil untuk meniadakan wali,
melainkan ada rincian dan perbedaan konteks dalam pernikahan Nabi dengan
umatnya. Pendapat yang paling kuat (rajih) adalah tidak sah nikah tanpa wali,
walaupun mempelai wanita adalah janda, terlebih lagi bagi seorang gadis. Allah ﷻ berfirman,
ﵟوَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ
مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ
مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ﵞ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (QS An-Nur: 32)
Perintah ini ditujukan kepada para wali, bukan kepada
para wanita yang hendak menikah. Allah tidak mengatakan, "Menikahlah
kalian," tetapi "Nikahkanlah mereka." Ini menunjukkan
bahwa peran wali sangat penting dalam pelaksanaan akad nikah.
Jadi, jangan anggap remeh persoalan wali. Menikah
tidak boleh seenaknya. Kalau wali tidak mau menikahkan karena alasan yang tidak
syar'i, maka kita bisa mengajukan permohonan di pengadilan agama untuk
pengalihan wali. Ada formulir khusus yang bisa diisi, lalu dijelaskan
alasannya. Kalau terbukti bahwa ayah atau walinya enggan menikahkan tanpa
alasan yang dibenarkan syariat, maka hakim akan memindahkan hak perwalian
kepada pihak lain untuk menikahkan. Allah ﷻ juga berfirman,
ﵟفَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ
إِذَا تَرَٰضَوۡاْ بَيۡنَهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗﵞ
“Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.” (QS Al-Baqarah: 232)
Imam Bukhari menjelaskan:
Dari Ma'qil bin Yasar, ia berkata: "Aku memiliki
seorang saudari yang dilamar oleh seseorang." Lalu beliau menyebutkan
dalam riwayat lain bahwa saudari Ma'qil bin Yasar dicerai oleh suaminya.
Suaminya meninggalkannya hingga masa iddahnya habis. Setelah itu, suaminya
melamarnya kembali, tetapi Ma'qil menolak. Maka turunlah di atas:
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka
kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma'ruf.” (QS Al-Baqarah: 232)
Ma'qil bin Yasar yang merupakan walinya, marah dan
bersumpah bahwa ia tidak akan pernah menikahkan adiknya kembali dengan
laki-laki tersebut. Namun, Allah menurunkan ayat ini agar para wali tidak
menghalangi wanita untuk kembali menikah.
Ini menunjukkan peran wali dalam akad nikah tetap ada, bahkan dalam kasus janda sekalipun. Namun, wali juga tidak boleh bersikap zalim dengan menahan pernikahan hanya karena emosi atau alasan pribadi yang tidak berdasar syariat.
Tulisan ini disadur dari serial kajian Fiqih Keluarga berjudul "Menikah Tanpa Wali" yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru



