

Dalam hidup ini, semua orang pasti diuji.
Ada yang diuji dengan kekurangan, kecukupan, kehilangan dan ada pula yang diuji
dengan kekuasaan. Namun, satu hal yang menjadi kunci dalam menghadapi seluruh
ujian tersebut adalah sabar.
Sabar bukanlah sekadar menahan amarah
atau pasrah dalam kesulitan. Sabar adalah pondasi keimanan, yang
tanpanya amal menjadi rapuh dan iman menjadi lemah. Dalam Islam, sabar bahkan
disebut sebagai pemberian terbaik dari Allah ﷻ, melebihi
harta dan kekayaan dunia. Berikut beberapa keutamaan sabar:
1. Sabar, Anugerah yang Lebih Baik dan Lebih Luas dari Segalanya
Rasulullah
ﷺ bersabda,
أَنَّ نَاسًا مِنَ الأَنْصَارِ سَألوا
رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فَأعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَألوهُ فَأعْطَاهُمْ، حَتَّى
نَفِدَ مَا عِندَهُ، فَقَالَ لَهُمْ حِينَ أنْفْقَ كُلَّ شَيءٍ بِيَدِهِ: «مَا
يَكُنْ عِنْدي مِنْ خَيْر فَلَنْ أدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ
يُعِفهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ
اللهُ. وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأوْسَعَ مِنَ الصَّبْر
“Ada sekelompok orang
dari kaum Anshar datang meminta kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau pun
memberi mereka. Lalu mereka meminta lagi, dan beliau pun memberi mereka lagi,
hingga habislah apa yang ada pada beliau. Maka beliau berkata kepada mereka setelah semua yang dimilikinya habis:
‘Apa
pun kebaikan yang ada padaku, tidak akan aku simpan dari kalian. Siapa yang
menjaga kehormatan dirinya (tidak meminta-minta), Allah akan menjaganya. Siapa
yang merasa cukup, Allah akan mencukupkannya. Siapa yang berusaha bersabar,
Allah akan memberinya kesabaran. Dan tidaklah seseorang diberi suatu pemberian
yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.’” (HR Bukhari, no. 1481).
Hadis ini diawali dengan gambaran tentang
kemurahan hati Nabi ﷺ. Beliau memberi kepada siapa pun
yang meminta, hingga tidak tersisa sedikit pun. Tetapi setelah semuanya habis,
beliau tidak menegur keras para peminta. Sebaliknya, beliau justru memberikan nasihat yang
sangat berharga, yaitu:
Menjaga Diri “ʻIffah” (العِفَّة):
Yaitu menjaga kehormatan diri, terutama
dari meminta-minta. Orang yang menahan diri dari meminta-minta, berarti menjaga
harga dirinya. Makna ʻiffah juga mencakup menjaga diri dari perbuatan
maksiat, seperti zina dalam berbagai bentuk, zina mata, telinga, tangan, kaki,
dan kemaluan. Siapa
yang menjaga dirinya, Allah ﷻ pun akan menjaga kehormatannya.
Merasa cukup “Ghina” (الغِنَى).
Yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah ﷻ
berikan, tanpa bergantung kepada orang lain. Orang yang memiliki ghina
akan hidup tenang, tidak serakah, dan tidak mudah tergoda oleh dunia. Siapa
yang merasa cukup, Allah ﷻ akan cukupkan dirinya dan jauhkan dari
ketergantungan pada makhluk.
Berusaha bersabar “Tashabbur” (التَصَبُّر).
Sabar adalah karunia yang tidak semua
orang memilikinya, namun bisa diminta dan dilatih. Siapa yang berusaha
bersabar, maka Allah ﷻ akan bantu dia untuk benar-benar bersabar. Ini menunjukkan bahwa sabar bukan hanya sifat bawaan,
tetapi sebuah keterampilan rohani yang tumbuh dalam jiwa orang yang beriman.
Maka,
kesabaran menjadi pondasi utama dari dua hal pertama, menjaga
kehormatan diri (ʻiffah), merasa cukup (ghina), dan menahan diri
dari ketergantungan kepada makhluk. Tanpa sabar, seseorang akan mudah
tergelincir dalam meminta-minta, merasa selalu kurang, dan kehilangan kendali
diri ketika diuji oleh keadaan.
2. Sabar dan Syukur adalah Dua Sayap Iman
Rasulullah ﷺ bersabda di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu,
عَجَبًا لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ
لَهُ خيرٌ، ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن: إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكانَ خَيرًا لَهُ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang yang beriman. Sesungguhnya semua
urusannya adalah kebaikan baginya dan itu tidak dimiliki oleh siapa pun selain
orang beriman. Jika dia mendapat kesenangan, dia bersyukur, maka itu baik
baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, maka itu pun baik
baginya.” (HR Muslim, no. 2999).
Orang yang beriman ketika mendapatkan
nikmat, maka dia akan bersyukur dan itu kebaikan baginya. Berbeda dengan orang
kafir, ketika mendapatkan nikmat, maka nikmat itu akan menjadi azab baginya,
mengapa? Karena Allah ﷻ telah memberikannya berbagai
nikmat, akan tetapi dia tidak ibadah, tidak beriman kepada Allah ﷻ, maka mereka akan mempertanggungjawabkannya dan akan diazab
karena nikmat tersebut.
Orang yang beriman ketika mendapatkan
musibah atau ujian, maka dia akan bersabar dan itu kebaikan baginya. Berbeda
dengan orang kafir, ketika mendapatkan musibah atau ujian, maka dia akan
mengeluh, mencaci maki, menyalahkan orang lain, dll. Oleh karena itu,
orang-orang yang mengaku dirinya beriman hendaknya memperhatikan hal tersebut.
Karena orang yang benar-benar beriman tidak akan melakukan hal tersebut.
3. Kesabaran Fathimah Putri Rasulullah ﷺ
Tidak ada musibah yang paling besar bagi
umat Islam kecuali ditinggal mati oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadits
yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, diceritakan
bahwa Nabi ﷺ sebelum meninggal, beliau diuji oleh
Allah dengan penyakit. Putrinya, Fatimah radhiyallahu ‘anha tidak tahan
melihat penderitaan ayahnya, lalu berkata,
“Betapa
berat penderitaanmu ayahku.” Lalu Nabi ﷺ menenangkan
putrinya seraya berkata: “Tidak akan ada lagi penderitaan atas ayahmu setelah hari
ini.”
Setelah beliau
wafat, Fatimah mengucapkan kata-kata perpisahan dengan penuh cinta dan haru:
“Wahai Ayahanda,
engkau telah menjawab panggilan Rabbmu. Wahai Ayahanda, surga Firdaus adalah
tempat tinggalmu. Wahai Ayahanda, kami umumkan kepergianmu kepada Jibril.”
Namun, yang lebih
menyentuh lagi, ketika jenazah Rasulullah ﷺ selesai
dimakamkan, Fatimah berkata kepada para sahabat:
“Apakah kalian
tega menaburkan tanah ke atas wajah Rasulullah ﷺ?” (HR Bukhari, no. 4441).
Ungkapan ini adalah puncak dari cinta, kehilangan, dan kerinduannya. Namun, tetap dibalut dalam kesabaran dan keridhaan. Dia menangis, tetapi tidak menjerit. Dia berduka, tetapi tetap tegar. Inilah sabar yang diajarkan Islam, bukan menolak takdir, tetapi menerima dengan iman.
4. Sabar dalam Musibah Merupakan Pesan Agung dari Rasulullah ﷺ
Jika kita
mendengar orang tua, saudara, orang yang kita cintai, atau kerabat kita
mendapatkan musibah, apa yang harus kita lakukan? Mengingatkan agar bersabar dan
mengharap pahala dari Allah ﷻ. Kita tidak boleh membiarkan mereka larut dalam
kesedihan, tetapi juga tidak boleh mencela kesedihan mereka. Kita rangkul
mereka dengan empati dan menuntun mereka pada keimanan. Sebagaimana yang
dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ ketika salah satu cucu beliau, anak dari Zainab radhiyallahu
‘anha, meninggal dunia, beliau berkata kepadanya,
إنَّ لله مَا أخَذَ وَلَهُ مَا أعطَى، وَكُلُّ
شَيءٍ عِندَهُ بِأجَلٍ مُسَمًّى فَلتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
“Sesungguhnya milik
Allah-lah apa yang Dia ambil, dan milik Allah pula apa yang Dia berikan. Segala
sesuatu di sisi-Nya ada ajal (waktu) yang telah ditentukan. Maka bersabarlah
dan harapkanlah pahala (dari musibah ini).” (HR Bukhari, no. 1294).
Kemudian Rasulullah ﷺ datang menemui
Zainab, dan ketika anak itu diangkat
dan diletakkan di pangkuan Rasulullah ﷺ dalam keadaan
sekarat, air mata pun menetes dari mata beliau. Saat ditanya oleh Sa’ad tentang
tangisan itu, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa itu adalah bentuk kasih sayang yang Allah ﷻ tanamkan dalam
hati hamba-hamba-Nya. Dalam riwayat lain, beliau menegaskan bahwa Allah hanya
merahmati hamba-hamba-Nya yang memiliki sifat kasih sayang.
Menangis
bukanlah sesuatu yang dilarang atau tanda kurangnya sabar, melainkan bentuk rahmat dan kasih sayang
alami dalam diri manusia. Yang dilarang dalam Islam bukanlah air mata, tetapi keluh kesah, meratap, dan
protes terhadap takdir Allah ﷻ.
Oleh karena itu, sabar
bukan hanya kemampuan menahan diri, tetapi jalan menuju keridhaan Allah ﷻ dan kedewasaan
iman. Ia menyertai setiap langkah dalam suka maupun duka, menguatkan hati yang
lemah, dan menuntun jiwa untuk tetap teguh dalam kebaikan. Rasulullah ﷺ, para sahabat,
dan orang-orang saleh telah menunjukkan bahwa sabar bukan kelemahan, tetapi
kekuatan sejati. Maka, marilah kita jadikan sabar sebagai sahabat dalam ujian,
dan syukur sebagai teman dalam kelapangan. Karena dengan keduanya, seorang
mukmin akan selalu berada dalam kebaikan dan berada dalam lindungan kasih
sayang Allah ﷻ.
Ditulis oleh Tim Ilmiah
SRB dan Lorong Faradisa.
Sumber: Rekaman kajian Riyadus Sholihin “Bab Sabar” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru



 Selamanya.png
)
