Benarkah Ada Hari, Bulan dan Angka Sial?
Benarkah Ada Hari, Bulan dan Angka Sial?
 

Meskipun kita hidup di era yang sangat maju, dengan teknologi canggih, kecerdasan buatan, dan penemuan ilmiah yang terus berkembang, nyatanya, masih banyak di antara kita yang mempercayai hal-hal yang tidak memiliki dasar ilmiah maupun dalil agama. Kepercayaan terhadap zodiak, angka sial, bulan apes, hari buruk, hingga suara burung pembawa pertanda, masih ada dan lestari di tengah masyarakat.

Zodiak, misalnya, masih banyak dibaca hingga hari ini. Di berbagai belahan dunia, baik di Barat seperti Amerika dan Eropa, maupun di Timur seperti Cina, India, bahkan Indonesia, kepercayaan akan hal tersebut tetap ada. Tak jarang kita mendengar kalimat seperti, “Orang yang lahir antara bulan Juli dan Agustus biasanya suka utang.” Anehnya, ada saja yang langsung percaya dan mengaitkannya dengan diri sendiri, “Wah, aku lahir di bulan itu. Benar juga, aku sering utang …”

Padahal …

 

“… zodiak hanyalah karangan manusia, tanpa dasar yang jelas, apalagi dalil yang sahih.”

 

Lebih jauh lagi, ada pula yang meyakini kesialan karena bulan tertentu, seperti bulan Safar yang dianggap sebagai bulan sial. Ini adalah keyakinan peninggalan zaman Jahiliah yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Tak hanya bulan, suara burung pun sering dijadikan pertanda. Di beberapa daerah, masih ada masyarakat yang percaya bahwa kicauan atau arah terbang burung bisa membawa kabar buruk. Ini mirip dengan kebiasaan orang Arab di masa lalu, sebelum bepergian, mereka akan menggoyang pohon untuk mengusik burung. Jika burung terbang ke kanan, mereka melanjutkan perjalanan. Namun jika ke kiri, mereka akan membatalkan niatnya. Sejak kapan burung bisa menentukan takdir manusia?

Tak hanya itu, angka pun sering kali menjadi sumber kepercayaan yang keliru. Di banyak hotel, angka 4 sering dihindari dan diganti menjadi 3A atau 3B. Angka 13 juga dianggap membawa kesialan. Coba perhatikan kursi di dalam pesawat, sering kali kita tak menemukan nomor 13. Bahkan jika tersedia, sebagian penumpang akan merasa cemas duduk di sana, padahal itu hanyalah angka biasa.

Kepercayaan terhadap hari sial juga masih ada. Dalam budaya Jawa, misalnya, diyakini bahwa dua orang yang lahir pada hari yang sama tidak boleh menikah, karena konon bisa membawa kesialan, kemalangan, bahkan kematian. Keyakinan seperti ini masih banyak ditemui di desa-desa, dan tak jarang juga masih dipercaya oleh sebagian masyarakat di perkotaan.

Bukan hanya hari atau angka, benda tertentu pun dipercaya membawa nasib buruk. Di beberapa daerah, jika seseorang menabrak kucing atau ayam di jalan, hal itu dianggap sebagai pertanda buruk. Bahkan ada yang percaya, jika kucing yang tertabrak tidak dikubur dengan pakaian yang dipakai si penabrak, maka kesialan akan menimpa dirinya.

Apakah memang seperti itu? Inilah yang disebut dalam agama kita dengan istilah tathayyur. Jika engkau membaca kitab-kitab para ulama, engkau akan mendapati istilah ini, dan Ibnul Qayyim menjelaskan dalam kitabnya bahwa tathayyur atau thiyarah adalah perasaan sial yang muncul karena sesuatu yang dilihat atau didengar. (Miftah Daris Sa’adah, 2/246).

Orang yang meyakini kesialan-kesialan ini sebenarnya akan tersiksa jiwanya. Kenapa bisa begitu? Karena ia akan terus hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran yang tidak perlu. Ia akan meyakini sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki dasar.

 

“Allah tidak menjadikan hal-hal seperti angka, hari, atau burung sebagai penyebab kesialan.”

 

Sebagian orang bahkan percaya bahwa pada hari-hari tertentu mereka tidak boleh membuka toko, karena takut kalau buka toko di hari itu akan membuat mereka bangkrut. Jika ditanya mengapa, seringkali mereka menjawab, "Karena nanti akan ada malapetaka." Sampai sejauh itu mereka percaya, padahal ini semua hanyalah keyakinan yang tidak berdasar.

Dalam sebuah hadis, Rasululullah menyampaikan bahwa Allah berfirman dalam hadis qudsi,

 

‌أَنَا ‌عِنْدَ ‌ظَنِّ عَبْدِي بِي

“Aku sebagaimana persangkaan hamba-Ku.”

(HR Bukhari, no. 7400 dan Muslim, no. 2675)

 

“Ketika engkau mulai berprasangka buruk, maka ketahuilah, keburukan yang menimpamu bukanlah karena angka tertentu atau hari tertentu. Keburukan itu terjadi karena prasangka burukmu sendiri.”

 

Menganggap sesuatu sebagai pertanda sial (thiyaroh) termasuk dalam bentuk keyakinan Jahiliyah. Keyakinan semacam ini telah ada bahkan sebelum datangnya Islam.

Fir’aun, misalnya, pernah berprasangka buruk terhadap Nabi Musa ‘alaihis salam dan para pengikutnya. Ketika bencana datang, ia langsung menyalahkan mereka, menganggap Musa dan para pengikutnya sebagai penyebab semua kesulitan yang menimpa negeri Mesir. Namun ketika masa-masa kemakmuran datang, mereka justru mengklaimnya sebagai hasil usaha mereka sendiri, tanpa sedikit pun mengakui bahwa semua kebaikan itu sejatinya berasal dari Allah . Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

 

فَإِذَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡحَسَنَةُ قَالُواْ لَنَا هَٰذِهِۦۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓۗ أَلَآ إِنَّمَا طَٰٓئِرُهُمۡ عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

(QS Al-A’raf: 131).

 

Tathayyur hukumnya bisa termasuk syirik besar atau syirik kecil, tergantung bagaimana keyakinan seseorang terhadapnya. Syirik besar membuat pelakunya keluar dari Islam dan menghapus seluruh amalnya. Sedangkan syirik kecil, meskipun tidak mengeluarkan dari Islam, tetap menghapus amalan dan merupakan dosa besar. Bahkan menurut pendapat yang lebih kuat, syirik kecil termasuk dosa yang tidak diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat, dan pelakunya layak mendapat siksa di akhirat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas`ud yang bersambung dari Rasulullah ,

 

‌الطِّيَرَةُ ‌شِرْكٌ، ‌الطِّيَرَةُ ‌شِرْكٌ، ‌ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Tathayyur (menganggap sesuatu sebagai sumber kesialan) adalah syirik” Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal.”

(HR Abu Daud no. 3910. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

Keyakinan terhadap angka-angka sial sejatinya hanyalah karangan manusia dan bisikan setan. Tidak ada satu pun dalil yang menetapkannya, dan menariknya, dari satu negara ke negara lain, angka sial yang dipercaya pun berbeda-beda. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan tersebut tidak berlandaskan kebenaran, melainkan hanyalah warisan budaya yang dibungkus rasa takut.

Di Jepang dan Vietnam, misalnya, angka tiga dianggap sebagai angka pembawa kesialan. Bahkan ada kepercayaan bahwa jika tiga orang berfoto bersama, salah satunya akan meninggal lebih dulu. Di beberapa tempat, kepercayaan ini juga hidup. Jika ada yang berfoto bertiga, sering muncul ucapan, “Yang di tengah nanti mati.”

Bukankah semua manusia pasti mati? Dua orang, tiga orang, lima orang, takdir tetap berlaku. Namun, karena keyakinan itu telah tertanam, banyak orang menjadi takut dan cemas. Begitulah keadaan hati orang yang percaya pada kesialan, hidup dalam bayang-bayang ketakutan, dihantui oleh hal-hal yang tidak pernah dijanjikan Allah sebagai penyebab keburukan.

Angka empat juga kerap dianggap sebagai angka sial, terutama di kalangan masyarakat yang masih membawa pengaruh budaya Tionghoa. Di Indonesia, kepercayaan ini masih cukup terasa, karena banyak pemilik dan pengelola hotel serta gedung-gedung tinggi berasal dari latar belakang tersebut. Maka, tidak jarang kita temukan hotel-hotel yang melewatkan lantai empat, dari lantai tiga langsung ke lima, atau mengganti angka empat dengan “3A”.

Mengapa angka empat dianggap sial? Karena dalam bahasa Tionghoa, pengucapan angka empat terdengar mirip dengan kata “mati”. Karena itu, banyak bangunan di komunitas mereka yang sengaja melewatkan lantai empat, dan sebagian orang bahkan enggan membeli rumah jika nomornya mengandung angka empat.

Padahal, tidak ada satu pun dalil agama atau alasan logis yang menyatakan bahwa angka tersebut membawa keburukan. Ini murni keyakinan turun-temurun tanpa dasar ilmiah. Bila seseorang terus hidup dengan keyakinan seperti ini, maka ia akan selalu dihantui rasa waswas, seolah hidupnya dikendalikan oleh angka, bukan oleh Allah yang Maha Mengatur segalanya.

Di India, angka delapan justru dianggap sial. Banyak orang di sana merasa waswas memulai sesuatu di tanggal delapan, atau memiliki angka delapan dalam nomor rumah atau kendaraan mereka. Konon angka ini membawa kesulitan, penderitaan, bahkan nasib buruk berkepanjangan.

Jika kita perhatikan dengan seksama, setiap negara punya versi "angka sial"-nya sendiri. Ada yang takut pada angka tiga, empat, delapan, atau tiga belas. Apa artinya ini? Artinya, kepercayaan semacam itu bukanlah kebenaran mutlak, melainkan keyakinan turun-temurun yang dikarang manusia, bahkan bisa jadi berasal dari bisikan jin, yang menjerumuskan manusia dalam rasa takut yang tidak berdasar. Allah tidak pernah menjadikan angka, suara, atau hari tertentu sebagai penentu nasib baik atau buruk kita. Yang menentukan hanyalah takdir dan kehendak-Nya.

Keyakinan seperti itu—meyakini kesialan karena angka, hari, bulan, suara, atau pertanda tertentu—adalah sesuatu yang salah dan terlarang dalam Islam.

 

“Engkau adalah hamba Allah , yang seharusnya hanya bergantung kepada-Nya, bukan kepada ramalan, zodiak, atau benda mati yang tak punya kuasa sedikit pun atas hidup dan mati-mu.”

 

Keyakinan seperti itu hanyalah warisan masa jahiliyah, yang tidak bersandar pada ilmu maupun wahyu.

Jika engkau meyakini bahwa Allah-lah yang menggenggam takdirmu, maka tidak ada satu pun angka yang bisa menakut-nakutimu. Tidak ada hari yang bisa membuatmu ciut untuk melangkah. Tidak ada suara apa pun yang mampu menghentikan niat baikmu. Bertawakallah kepada Allah , dan berjalanlah dengan tenang. Karena Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.



 
 

Tulisan ini disadur dari kajian berjudul  "Benarkah Ada Hari, Bulan dan Angka Sial?" yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i STDIIS, Jember).