

Setiap orang yang memiliki keimanan kepada Allah ﷻ akan menghadapi berbagai ujian dalam hidupnya. Allah ﷻ telah menjanjikan kemenangan bagi mereka yang tetap teguh dalam keimanan mereka. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur'an,
يَاَ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam."
(QS Ali 'Imran: 102)
Allah ﷻ berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman!" Dan kita insyaAllah termasuk di antara orang-orang beriman. Itu berarti kita sedang dipanggil langsung oleh Allah ﷻ. Berulang kali dalam Al-Qur’anul Karim, Allah ﷻ memanggil kita dengan panggilan yang mulia ini. Namun sayangnya, sering kali kita tidak mendengarkan panggilan itu karena terlalu sibuk dengan urusan duniawi.
Setelah memanggil kita, Allah ﷻ memerintahkan agar kita bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa. Sebagian orang mungkin menganggap kata "takwa" sudah sering terdengar, bahkan menjadi istilah yang biasa. Namun, takwa bukanlah sekadar kata yang diucapkan atau didengar.
“Takwa adalah mengingat Allah ﷻ dalam setiap waktu dan tidak melupakan-Nya. Takwa adalah bersyukur atas nikmat-Nya dan tidak kufur. Takwa adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.”
Kemudian Allah ﷻ melanjutkan firman-Nya: "Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam." Ini adalah peringatan dan juga harapan yang besar. Karena jika kita melihat peristiwa demi peristiwa yang terjadi di sekitar kita, di dalam rumah kita, pada diri kita sendiri, di lingkungan kita, bahkan di negeri kita, terlalu banyak musibah yang menimpa. Seakan-akan musibah itu datang silih berganti tanpa henti. Mengapa demikian? Karena …
“Kita sedang berada di dunia, tempat ujian dan cobaan. Dunia bukan tempat istirahat, melainkan tempat perjuangan untuk menuju akhirat.”
Allah ﷻ telah berfirman bahwa Dia benar-benar akan menguji kita dengan rasa takut, rasa lapar, kekurangan harta, kekurangan buah-buahan, serta kehilangan orang-orang terkasih,
وَلَنَبْلُونَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوُعِ وَنَقْصِ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالْثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الْصَّابِرِينَ
"Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar."
(QS Al-Baqarah: 155)
Semua itu adalah ujian dari Allah ﷻ. Namun demikian, Dia juga memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar dalam menghadapi ujian tersebut.
Di antara musibah yang menimpa kita, ada yang kehilangan kendaraan, ada yang rumahnya terbakar, dan ada pula yang menjadi korban gempa bumi. Kita sering kali menganggap musibah-musibah semacam itu sangat besar dan menyedihkan. Kita merasa iba kepada mereka yang mengalaminya.
Namun …
“Ada musibah yang jauh lebih besar daripada kehilangan harta benda, bahkan lebih dahsyat daripada gempa bumi atau tsunami. Apakah itu? Musibah dalam agama kita.”
Sebagian orang kehilangan salat Subuhnya, sebagian lainnya terjerumus dalam perbuatan maksiat, bahkan ada yang sampai jatuh dalam kesyirikan. Anehnya, musibah-musibah semacam itu sering kali tidak dianggap sebagai bencana. Padahal, dampaknya jauh lebih berat di sisi Allah.
Coba renungkan, berapa harga rumah kita? Berapa nilai seluruh kompleks perumahan yang kita miliki? Mungkin bernilai miliaran rupiah. Namun, itu semua tidak lebih berharga dibandingkan dua rakaat salat sunnah sebelum Subuh. Rasulullah ﷺ bersabda,
رَكَعَتَانِ الفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُنْيَا وَمَا فِيهَا
"Dua rakaat sebelum Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya."
(HR Muslim no. 725)
Namun, kita sering terlewat dua rakaat ini tanpa merasa kehilangan. Jika sebuah perumahan ditelan bumi, akan menjadi berita besar di koran dan media. Namun, jika penghuninya meninggalkan shalat, tidak ada yang peduli. Ini menunjukkan bahwa musibah dalam agama lebih berat daripada musibah dunia.
Musibah dalam agama adalah musibah dunia dan akhirat. Rasulullah ﷺ pernah berdoa agar tidak diberikan musibah dalam agama,
اللهم لا تجعل مصيبتنا في ديننا ولا تجعل الدنيا أكبر همنا ولا إلى النار مصيرنا، وجعل الجنة هي دارنا
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia sebagai masalah terbesar kami, dan janganlah Engkau jadikan kami berakhir di neraka, dan jadikanlah surga sebagai tempat tinggal kami.”
(HR Tirmidzi : 3502)
Sebagian orang, ketika datang ke masjid dan mendapati salat berjamaah telah usai, mereka merasa seolah tidak kehilangan apa-apa. Tidak ada penyesalan, tidak ada rasa sedih. Namun, jika mereka kehilangan harta benda atau anggota keluarga, maka ramai orang akan datang bertakziah dan menunjukkan simpati.
Seorang ulama salaf pernah berkata, "Ketika anakku meninggal dunia, seribu orang datang bertakziah. Tapi ketika aku kehilangan kesempatan salat berjamaah, tidak seorang pun yang peduli."
Begitulah realita yang sering terjadi. Kita terlalu memandang dunia ini sebagai segalanya, seakan-akan tidak ada yang lebih penting darinya. Padahal, dunia ini tidak lebih berharga dari satu sayap nyamuk di sisi Allah ﷻ. Nabi ﷺ bersabda,
لَو كَانَتِ الُدُنْيَا تَزِنُ عِندَ اللّهِ جَنَاحَ بَعوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
"Seandainya dunia ini bernilai di sisi Allah sebesar sayap nyamuk, maka Dia tidak akan memberi orang kafir seteguk air pun dari dunia ini."
(HR Tirmidzi no. 2320)
Namun, kita tetap bekerja keras siang dan malam demi dunia, sementara untuk akhirat, kita sering lalai.
Hari ini, mungkin ada yang belum membaca Al-Qur'an. Namun, bagi mereka itu bukan sebuah musibah. Tapi jika mereka terlambat datang ke kantor, mereka akan merasa sangat menyesal. Allah ﷻ berfirman,
كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَتَذَرُونَ الْآخِرَةَ
"Sekali-kali tidak! Bahkan kamu mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat."
(QS Al-Qiyamah: 20-21)
Padahal, semua yang kita lihat dan miliki di dunia ini pada akhirnya akan kita tinggalkan.
Mungkinkah kita masuk surga dengan keadaan seperti ini? Para sahabat Nabi, yang telah berjuang dan berkorban selama 13 tahun di Mekah, meninggalkan rumah dan keluarga mereka demi hijrah ke Madinah, tetap mendapat teguran dari Allah ﷻ. Dalam surah Al-Baqarah ayat 214, Allah ﷻ berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti yang dialami orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, 'Kapan datang pertolongan Allah?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat."
(QS Al-Baqarah: 214)
Para sahabat Nabi, yang telah mengorbankan jiwa dan raga, masih mendapatkan teguran dari Allah ﷻ. Maka bagaimana dengan kita yang hidup santai, penuh kenyamanan? Apa yang telah kita perjuangkan? Darah mana yang sudah kita teteskan? Bahkan para sahabat yang mati syahid di medan jihad pun masih dipertanyakan kelayakannya untuk masuk surga. Lalu bagaimana dengan kita, yang lebih mencintai dunia daripada akhirat?
Surga yang Allah ﷻ tawarkan tidak bisa kita bayangkan keindahannya. Rasulullah ﷺ bersabda, bahwa kerudung seorang bidadari surga lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Namun sayangnya, kita justru bangga dengan harta dunia yang fana dan sementara.
Allah ﷻ telah menegaskan bahwa sebelum masuk surga, kita akan diuji sebagaimana umat-umat terdahulu diuji. Mereka ditimpa kemiskinan, penyakit dan serangan dari musuh. Bahkan di antara kita hari ini diuji dengan kelimpahan harta. Tak sedikit yang tergelincir, pagi masih menjadi seorang muslim, sore telah kafir, karena menjual agamanya demi secuil kenikmatan dunia.
Lihatlah kisah para tukang sihir Fir‘aun. Mereka datang di pagi hari sebagai pendukung Fir‘aun, lalu di sore hari mereka disalib dan disiksa, karena memilih beriman. Mereka lebih rela kehilangan nyawa daripada kehilangan keyakinan.
Begitu pula kisah Ashabul Ukhdud. Orang-orang beriman dilemparkan ke dalam parit api yang menyala-nyala. Seorang wanita bersama bayinya sempat ragu. Namun Allah ﷻ memberinya kekuatan. Bayinya pun berbicara,
"Sabar, wahai Ibu. Sesungguhnya azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat."
“Kesabaran adalah kunci. Perjuangan di dunia ini tidak akan pernah berhenti. Ujian akan terus datang silih berganti. Lalu, kapan kita bisa benar-benar beristirahat? Jawabannya: ketika kaki kita telah menginjak surga.”
Maka, marilah kita perbaiki hubungan kita dengan Allah ﷻ. Jangan sampai musibah yang paling besar—yakni musibah dalam agama—menimpa kita. Jadikan akhirat sebagai tujuan utama. Semoga Allah ﷻ memberikan kita kekuatan untuk tetap istiqamah dalam keimanan dan ketakwaan. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Sumber tulisan diambil dari khutbah Jumat, “Pertanggungjawaban diakhirat - Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.”
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru




