Mengapa Islam yang Indah Belum Tercermin dalam Hidup Kita?
Mengapa Islam yang Indah Belum Tercermin dalam Hidup Kita?


  

Penduduk Indonesia berjumlah sekitar 273 juta jiwa. Sebanyak 87,2% di antaranya adalah muslim. Islam datang membawa rahmat, dan kita meyakini bahwa hanya ada satu agama yang diridhai oleh Allah . Kita percaya bahwa siapa saja yang mencari agama selain Islam, maka ia termasuk orang yang merugi.

Islam datang menyempurnakan semua ajaran kebaikan. Seluruh akhlak mulia yang ada pada umat-umat terdahulu dan semua kebaikan dari agama-agama sebelumnya disempurnakan oleh Islam. Allah berfirman,

 

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

“Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya). Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.”

(QS Al-Ma'idah: 48)

 

“Angkatlah kepalamu, jangan malu dan jangan sembunyikan identitas keislamanmu.

 Engkau membawa ajaran yang penuh keindahan.”


 

Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad menerima Al-Qur'anul Karim yang membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya, serta menjadi penjaga dan acuan kebenaran.

Kita, umat Islam, tidak mengingkari bahwa memang benar ada kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa 'alaihissalām, kitab Zabur kepada Nabi Daud 'alaihissalām, dan Injil kepada Nabi Isa 'alaihissalām. Agama kita membenarkan adanya kitab-kitab tersebut, menjaga nilai-nilai yang masih murni di dalamnya, dan menyempurnakannya melalui Al-Qur’an.

Namun, sebagian orang justru ingin agar Nabi mengikuti pendapat umum pada masa itu, yaitu menganggap semua agama sama. Pandangan ini membuat seolah tidak perlu lagi mengajak non-muslim masuk Islam. Padahal, bagaimana mungkin tidak mengajak mereka, sedangkan kitab-kitab sebelumnya telah mengalami perubahan dan penyimpangan?

Karena itu, kitab-kitab tersebut tidak lagi layak dijadikan sumber hukum, apalagi dijadikan pedoman hidup manusia. Maka dari itu, Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai kitab terakhir dan sebagai petunjuk hidup.

Allah pun memerintahkan kita untuk berlomba dalam kebaikan. Namun tentu tidak semua orang akan menerima kebenaran. Kita juga diingatkan agar tidak mengikuti hawa nafsu mereka, karena itu akan menyesatkan.

 

“Tidak semua orang akan menyukai kita, dan tidak semua pihak akan menerima kita. Itu adalah kenyataan hidup.”


 

 Maka, apa yang harus dilakukan? Seorang Muslim sejati akan tetap mencari keridhaan Allah , karena pada akhirnya kita semua akan mati dan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah kita lakukan.

Jika masih ada orang yang berpikir mencari agama selain Islam, atau berkata bahwa tidak apa-apa beragama selain Islam, maka berhati-hatilah. Jangan sampai ucapan seperti itu menyesatkan manusia, dan membuat orang lain masuk neraka karena mengikuti pendapat yang keliru.

Pelajarilah sejarah agama dengan benar. Lihatlah kisah Nabi Ibrahim 'alaihissalām. Kaum Nasrani mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Nasrani. Begitu pula kaum Yahudi, mereka mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah Yahudi. Padahal, hal itu tidak mungkin terjadi, karena Nabi Ibrahim hidup jauh sebelum munculnya kedua agama tersebut.

Dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim bukan Yahudi, bukan pula Nasrani, melainkan seorang hanif dan muslim sejati. Allah berfirman,

 

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

“Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”

(QS Ali Imran: 85)

 

Di dunia ini, seseorang mungkin terlihat sukses, hidup bahagia dan menikmati berbagai kemewahan. Namun di akhirat, mereka termasuk orang-orang yang merugi. Sebab, hakikat kehidupan bukanlah di dunia, tetapi di akhirat.

Kalau ingin berbicara tentang dunia, lihatlah orang-orang terkaya dan tersukses sekalipun pada akhirnya mereka semua meninggalkan dunia ini. Yang tersisa hanya cerita.

Kalau kita mengetahui bahwa sekitar 87,2% penduduk Indonesia adalah muslim, maka muncul pertanyaan: mengapa keindahan Islam belum sepenuhnya tampak dalam kehidupan kita sehari-hari?

Padahal, Islam itu indah, penuh rahmat, dan membawa kedamaian. Namun, warna-warni keindahan Islam belum terlihat nyata dalam sikap, perilaku dan sistem kehidupan masyarakat. Maka, jika pemerintah menyadari adanya krisis karakter, langkah yang wajar adalah menerapkan pendidikan berbasis karakter.

Nabi kita Muhammad diutus untuk apa? Beliau bersabda,

 

‌إِنَّمَا ‌بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”

(HR Ahmad, No. 8952)

 

Ketika Aisyah radhiyallahu 'anha ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad , beliau menjawab,

 

كَانَ ‌خُلُقُهُ ‌الْقُرْآنَ

“Akhlak beliau adalah Al Qur’an.”

(HR Ahmad, no. 24601)

 

Sumber akhlak pertama adalah Al-Qur’an. Maka, akhlak seorang muslim tidak berubah-ubah. Sejak dahulu, termasuk di masa Imam Syafi’i rahimahullah, manusia cenderung mencari kambing hitam.

 

“Kita sering menyalahkan zaman, keadaan, atau lingkungan, padahal masalah sebenarnya ada pada diri kita sendiri.”


 

Imam Syafi’I rahimahullahu mengatakan dalam syairnya,


‌نَعِيبُ ‌زَمَانَنَا ‌وَالْعَيْبُ ‌فِينَا ... وَمَا لِزَمَانِنَا عَيْبٌ سِوَانَا

‌وَنَهجُو ‌ذَا ‌الزَمَانَ ‌بِغَيرِ ‌جرم … وَلَو نَطَق الزَمَانُ إِذاً هجانا

Kita mencela zaman, padahal aib itu ada pada diri kita,
Padahal tak ada cacat pada zaman selain kita sendiri.

Kita mencerca zaman tanpa sebab yang nyata,
Andai zaman bisa bicara, pasti ia akan mencela kita.

 

Zaman ini tidak menjadi buruk karena dirinya, melainkan karena kita yang memburukkannya. Pagi tetap terbit dan sore tetap tenggelam, zaman berjalan seperti biasa. Jika ada kerusakan, itu karena ulah manusia.

Seorang muslim sejati tidak suka menyalahkan orang lain, tetapi lebih memilih memperbaiki diri demi memperbaiki lingkungan sekitarnya. Ketika seseorang tidak memperoleh pendidikan akhlak dan Islam, ia bisa saja berbicara tentang Islam tanpa menyadari bahwa seluruh ajaran Islam sejatinya adalah akhlak. Maka dari itu, bacalah Al-Qur’an.

Sumber akhlak kedua adalah tradisi dan budaya. Sejak dulu, Islam mengakomodasi budaya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Islam itu fleksibel dan rahmatan lil 'alamin, namun bukan berarti agama harus dikalahkan oleh tradisi.

Di negeri kita banyak kearifan lokal. Maka, kearifan yang baik perlu dilestarikan dan dikembangkan. Namun, jika ada kemungkaran yang berbalut budaya, maka harus kita luruskan. Bagaimana cara membedakan yang baik dan yang mungkar? Alhamdulillah, kita sebagai mayoritas muslim memiliki Al-Qur’an sebagai pedoman. Di dalamnya telah dijelaskan dengan gamblang mana yang baik dan mana yang buruk.

Sumber akhlak yang ketiga adalah perasaan. Islam sangat memperhatikan perasaan. Allah telah menanamkan pada diri setiap manusia, baik muslim maupun non-muslim, sebuah “detektor” di dalam hatinya. Dengan fitrah tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk memilah dan merasakan: “Sepertinya ini tidak baik,” atau “Ini sepertinya buruk.”

Allah berfirman,

 

وَنَفۡسٖ وَمَا سَوَّىٰهَا ، فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا ، قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ، وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

(QS Asy Syams: 7–10)

 

Namun, terkadang “detektor” itu rusak. Seharusnya ia bisa mendeteksi logam, tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu pula dengan jiwa manusia.

 

“Jiwa yang rusak tidak bisa dijadikan sandaran utama dalam membedakan yang baik dan buruk. Maka dari itu, jiwa manusia harus senantiasa dibimbing dan diterangi oleh cahaya Al-Qur’an dan Sunnah.”


 

Bagaimana Memperbaiki Akhlak di Keluarga?

Akhlak terbagi menjadi dua macam: akhlak bawaan lahir dan akhlak karena kebiasaan yang diusahakan. Nabi Muhammad bersabda,

 

إِنَّ ‌اللَّهَ ‌خَلَقَ ‌آدَمَ ‌مِنْ ‌قَبْضَةٍ ‌قَبَضَهَا مِنْ جَمِيعِ الْأَرْضِ، فَجَاءَ بَنُو آدَمَ عَلَى قَدْرِ الْأَرْضِ: جَاءَ مِنْهُمُ الْأَحْمَرُ، وَالْأَبْيَضُ، وَالْأَسْوَدُ، وَبَيْنَ ذَلِكَ، وَالسَّهْلُ، وَالْحَزْنُ، وَالْخَبِيثُ، وَالطَّيِّبُ

Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam tanah yang diambil dari seluruh permukaan bumi. Maka datanglah anak-anak Adam sesuai dengan sifat tanah itu. Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, dan hitam, serta yang di antara itu. Ada pula yang lembut dan keras, ada yang buruk dan ada yang baik.

(HR Abu Daud, no. 4693. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

 

Jadi, manusia membawa karakter bawaan sejak lahir. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun, Islam datang untuk menyempurnakan akhlak yang baik dan menghapuskan akhlak yang buruk. Meskipun demikian, dasar karakter seseorang kadang kala tidak bisa dihilangkan sepenuhnya.

Perhatikan empat khalifah Nabi . Mereka memiliki karakter yang berbeda-beda, namun semuanya adalah orang-orang yang baik. Islam tidak mengubah Abu Bakar agar menjadi seperti Umar, dan tidak pula mengubah Umar agar menjadi seperti Abu Bakar. Abu Bakar tetap dengan kelembutannya dan dididik langsung oleh Nabi .

Beliau bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”


Cara pertama yang beliau lakukan adalah memperbaiki iman, akidah, dan menanamkan tauhid. Karena …

 

“…Sikap manusia adalah buah dari keyakinannya. Penyimpangan dalam perilaku menjadi salah satu indikator adanya masalah dalam keyakinan.”

 


Dakwah para nabi pada dasarnya satu, yaitu dimulai dengan tujuan yang sama: memperbaiki akhlak, menjadikan dunia ini indah, serta menciptakan kedamaian dan ketenteraman bagi semua makhluk hidup. Ternyata, semua dakwah itu mengarah pada tauhid.

Allah berfirman,

 

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Dan sungguh kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!’”

(QS An Nahl: 36)

 

Belajar akidah dan tauhid ini sampai akhir hayat. Karenanya Nabi Muhammad bersabda,

 

مَنْ ‌كَانَ ‌آخِرُ ‌كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

"Barang siapa yang akhir perkataannya Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah), maka ia akan masuk surga."

                                                             (HR Abu Dawud)            

 

Maka, jangan pernah berhenti belajar tentang keimanan. Apalagi jika engkau adalah orang yang berpengaruh. Jika ingin memperbaiki karakter anak bangsa, perhatikan siapa teladan mereka. Jika teladannya salah, maka pengikutnya juga akan ikut dalam kesalahan itu. Sebaiknya, jadikanlah Nabi Muhammad sebagai teladan.

Cara yang kedua adalah doa. Ajarilah mereka untuk meminta kepada Allah , karena akhlak juga merupakan karunia, sebagaimana rezeki. Mari kita ajarkan keluarga dan anak-anak kita untuk berdoa, memohon rezeki, keamanan, serta kesehatan. Namun, jangan lupa ajarkan juga mereka untuk berdoa memohon akhlak yang mulia. Nabi Muhammad sendiri senantiasa berdoa memohon akhlak yang baik, karena beliau adalah panutan. Allah telah memberikan kesaksian tentang beliau dalam firman-Nya,

 

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ

Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.

(QS Al Qalam: 4)

 

Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam berdoa,

 

وَاهْدِنِي ‌لِأَحْسَنِ ‌الأَخْلَاقِ. لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ. وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا. لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ

“Tunjukilah aku kepada akhlak yang terbaik. Tiada yang dapat membimbing kepada akhlak yang terbaik melainkan Engkau. Palingkanlah aku dari akhlak yang buruk. Tiada yang dapat memalingkan aku dari akhlak yang buruk melainkan Engkau”

(HR Muslim, no. 771)


Cara yang ketiga adalah melaksanakan ibadah. Ikuti ajaran agama, karena inti dari tujuan kita adalah membentuk pribadi yang berkarakter mulia dalam keluarga, masyarakat dan bangsa. Jika engkau ingin anak-anak atau keluargamu memiliki akhlak mulia, benarkanlah ibadah mereka. Islam mensyariatkan ibadah-ibadah yang luar biasa yang mendidik kedisiplinan dan kepedulian.

Misalnya zakat. Dengan zakat, kita didik diri untuk membantu orang lain. Sebelum itu, perhatikanlah firman Allah ,

 

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيم

“Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan hati mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

(QS At Taubah:103)

 

Zakat bisa menjadi jalan untuk membentuk akhlak mulia. Dengan zakat, hati kita dibersihkan dari kecintaan berlebih terhadap harta.

 

“Banyaknya kasus korupsi di negeri ini sering kali berakar dari cinta harta yang berlebihan.”

 


Ketika seseorang menunaikan zakat, ia sedang membersihkan jiwanya, karena Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik.

Begitu juga dengan puasa. Puasa mengajarkan kita mengontrol nafsu dan karakter. Usahakan untuk berpuasa sunnah setiap bulan, minimal tiga hari. Ini melatih kita agar tidak terjebak hawa nafsu, menjaga disiplin, dan tidak sembarangan dalam makan serta minum.

 

“Jangan hanya menunggu Ramadan untuk berpuasa, gunakan kesempatan lainnya untuk melatih pengendalian diri.”

 


Haji pun sangat mendidik karakter seorang muslim. Keberangkatan haji dimulai dengan niat ikhlas. Seorang haji rela meninggalkan keluarga, rumah, pekerjaan, bisnis, bahkan sahabat demi menunaikan ibadah. Ketika seseorang mengucapkan “Labbayk Allahumma Labbayk”, itu adalah bentuk pengorbanan dan ketundukan kepada Allah. Ia meninggalkan segala hal duniawi demi Allah . Di sinilah ajaran tentang keikhlasan dan pengorbanan dalam membentuk karakter muslim ditanamkan.

  



Tulisan ini disadur dari kajian berjudul “Akhlak Seorang Muslim dalam Membentuk Karakter Keluarga dan Bangsa” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).