![](https://i.ytimg.com/vi/rep0xKaRtoM/hqdefault.jpg)
![Ilmu yang Menjadi Cahaya atau Musibah?]( /media/Ilmu yang Menjadi Cahay.png
)
Kita semua tahu akan pentingnya ilmu. Sebagai bukti, di negara kita sekolah-sekolah dibangun, buku-buku dicetak, kurikulum dibuat, dan aturan ditetapkan. Namun, banyak manusia yang mengejar ilmu yang terkadang kurang bermanfaat atau manfaatnya hanya sebatas di kehidupan dunia. Padahal, kita semua tahu bahwa manusia yang hidup pasti akan mati. Allah berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِۗ
"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati."
(QS Ali 'Imran: 185)
Sepanjang apa pun umur seseorang, sebanyak apa pun ilmunya, sekaya apa pun hartanya, semua akan berakhir dengan kematian. Maka dari itu, yang kita perlukan adalah bagaimana menjadikan ilmu kita bermanfaat, sehingga setelah meninggal, kita akan terus mendapatkan aliran pahala dari ilmu tersebut.
Ada sebuah doa yang dibaca oleh Rasulullah ﷺ setiap pagi, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,
"Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berkata, 'Setelah salam dalam shalat Subuh, Nabi ﷺ senantiasa mengucapkan: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.'"
(HR Ibnu Majah: 925)
Dari hadis ini, kita menjadi tahu betapa pentingnya ilmu yang bermanfaat, sampai-sampai beliau ﷺ senantiasa meminta kepada Allah agar diberikan ilmu yang bermanfaat. Di antara alasan mengapa kita harus meminta ilmu yang bermanfaat adalah karena ilmu yang tidak bermanfaat tidak ada gunanya.
Bayangkan jika kita menuntut ilmu agama bertahun-tahun di pondok pesantren, senantiasa belajar hingga larut malam, mendapatkan nilai bagus, bahkan meraih juara atau peringkat di kelas, tetapi ilmu yang kita pelajari selama bertahun-tahun itu tidak berbekas di hati kita. Ilmu tersebut tidak tercermin dalam perilaku kita sehari-hari, bahkan bisa jadi perilaku kita bertentangan dengan apa yang selama ini kita pelajari. Lantas, apa gunanya menuntut ilmu jika akhirnya tidak diamalkan?
Dua Hakikat Ilmu yang Bermanfaat
1. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ilmu yang sebenarnya adalah ilmu yang membuat kita semakin takut kepada Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ۗ
"Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama."
(QS Fatir: 28)
Maka, bagaimana mungkin seseorang dikatakan berilmu jika ia justru semakin jauh dari aturan yang Allah tetapkan? Bagaimana seseorang dikatakan berilmu jika ia berani melanggar aturan-aturan Allah, Dzat yang telah memberikan dia ilmu?
2. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan.
Ibunda Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, Sufyan Ats-Tsauri,
يَا بَنِيَّ اطْلُبِ الْعِلْمَ وَأَنَا أَكْفِيكَ مِنْ مَغْزَلِي، يَا بَنِيَّ إِذَا كَتَبْتَ عَشْرَةَ أَحَادِيثَ، فَانْظُرْ هَلْ تَرَى فِي نَفْسِكَ زِيَادَةً فِي مَشْيِكَ وَحِلْمِكَ وَوَقَارِكَ؟ فَإِنْ لَمْ تَرَ ذَلِكَ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَضُرُّكَ وَلَا يَنْفَعُكَ.
"Wahai anakku, carilah ilmu, niscaya aku akan mencukupimu dengan usahaku. Wahai anakku, jika kamu menuliskan sepuluh hadis, lihatlah apakah ada peningkatan dalam cara berjalanmu, sikapmu, dan ketenanganmu. Jika kamu tidak melihatnya, maka ketahuilah bahwa ilmu itu tidak akan merugikanmu dan tidak pula menguntungkanmu." (Tarikh Jurjan: 997)
Dari kisah ini, kita belajar bahwa ilmu yang tidak membuahkan amalan itu sia-sia. Jika ilmu agama yang kita pelajari tidak mengubah cara bicara kita yang masih kasar, cara berjalan kita yang masih penuh kesombongan, tidak ada perubahan pada perilaku kita sama sekali, atau bahkan menjadikan kita lebih berani terhadap orang tua dan lebih sering melanggar larangan-larangan Allah, maka hakikatnya ilmu yang kita dapatkan tidak bermanfaat. Bahkan, bisa jadi ilmu tersebut akan menuntut kita di akhirat kelak. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Dan Al-Qur’an akan menjadi penolongmu atau penuntut bagimu.”
(HR Muslim 223)
Menuntut ilmu itu butuh kesabaran—kesabaran dalam menghadapi ustadz atau guru, kesabaran dalam menghadapi teman-teman, atau kesabaran ketika menuntut ilmu itu sendiri. Kelak, kesabaran kita akan menjadi penyebab ilmu kita berkah dan bermanfaat. Di antara bentuk kesabaran tersebut adalah tetap tabah menghadapi karakter guru yang mudah marah, teman-teman yang suka menjahili, atau sulitnya ilmu yang sedang dipelajari. Tentu saja, itu tidak mudah, karena buktinya banyak yang tidak sabar. Akhirnya, mereka suka ghibah terhadap gurunya, melakukan kekerasan kepada teman-temannya, bahkan sebagian berhenti dari menuntut ilmu. Na’udzubillah min dzalik
.
Bersabar atas sulitnya menuntut ilmu adalah ujian yang harus dilewati setiap orang agar mendapatkan ilmu.
Bahkan, Nabi Musa saja tidak lepas dari ujian ini. Dalam Al-Qur’an, Allah mengisahkan,
قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرٗا
“Dia (Khidir) berkata kepada Musa, ‘Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.’”
(QS Al-Kahf: 67)
Maka, di antara sebab yang menjadikan ilmu kita berkah adalah kesabaran kita dalam menuntut ilmu, baik itu ketika menghadapi guru, menghadapi teman-teman, atau kesabaran dalam proses menuntut ilmu itu sendiri. Sebuah kisah dari seorang ulama bernama Ibnu Thahir. Beliau berkata,
بُلْتُ الدَّم فِي طَلَبِ الحَدِيْثِ مرَّتين مرَّة بِبَغْدَادَ وَأُخْرَى بِمَكَّةَ كُنْتُ أَمْشِي حَافِياً فِي الحرِّ فَلحقنِي ذَلِك وَمَا رَكبتُ دَابَّة قَطُّ فِي طَلَبِ الحَدِيْثِ وَكُنْت أَحْمِلُ كُتُبِي عَلَى ظَهرِي وَمَا سَأَلتُ فِي حَال الطَّلَب أَحَداً كُنْت أَعيشُ عَلَى مَا يَأْتِي
“Aku telah kencing darah dua kali dalam menuntut hadis, sekali di Baghdad dan yang lain di Mekkah. Aku berjalan tanpa alas kaki di bawah terik matahari, sehingga aku mengalami kondisi itu. Aku tidak pernah menunggangi hewan tunggangan dalam menuntut hadis, dan aku selalu membawa kitab-kitabku di atas punggungku. Aku juga tidak pernah meminta bantuan kepada siapa pun dalam masa pencarianku. Aku hidup dari apa yang datang kepadaku.” (Siyar A’lam An-Nubala: 19/363)
Kisah ini mengajarkan kita untuk lebih bersyukur atas berbagai fasilitas menuntut ilmu yang ada di zaman sekarang. Ketika kita menghadapi kesulitan dalam menuntut ilmu, ingatlah bahwa ujian kita tidak seberat yang dilalui Ibnu Thahir—semoga Allah merahmati beliau. Ingatlah bahwa ujian itu biasa. Yang terpenting adalah bagaimana kita melalui ujian tersebut agar mendapatkan ridha Allah, supaya ilmu yang kita tuntut menjadi ilmu yang berkah dan bermanfaat bagi manusia. Suatu hari, Rasulullah ﷺpernah ditanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ وَأَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang dicintai Allah, dan amal apakah yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Orang yang dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia. Amal yang dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam diri seorang Muslim, atau engkau menghilangkan suatu kesulitan, atau engkau melunasi utangnya, atau menghilangkan kelaparannya.’”
(HR Thabrani: 6026)
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ
“Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Para malaikat Allah meletakkan sayap-sayapnya karena rida kepada penuntut ilmu. Seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi, hingga ikan yang berada di kedalaman lautan, seluruhnya memintakan ampun bagi penuntut ilmu.”
(HR Ibnu Majah: 223, Shahih)
Dua hadis di atas menunjukkan bahwa orang yang paling dicintai Allah ﷻ adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. Orang yang menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga, dimintakan ampun oleh seluruh penduduk langit dan bumi, serta diridhai oleh malaikat. Maka, kita yang telah Allah berikan kesempatan menuntut ilmu harus bersemangat untuk memperoleh kemuliaan tersebut.
Terakhir, ilmu yang kita pelajari tidak akan bisa bermanfaat kecuali atas kehendak Allah. Maka, jangan lupa senantiasa berdoa agar diberikan ilmu yang bermanfaat. Rasulullah ﷺ saja rutin meminta ilmu yang bermanfaat, padahal beliau seorang nabi, rasul, dan kekasih Allah. Sudah sepantasnya kita lebih banyak meminta kepada Allah ilmu yang bermanfaat,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.”
(Sumber tulisan diambil dari kajian: “Ilmu yang bermanfaat - Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.”, 27 Dzulqa’dah 1438 Hijriah / 19 Agustus 2017 Masehi)
Youtube Terbaru
![](https://i.ytimg.com/vi/rep0xKaRtoM/hqdefault.jpg)
![](https://i.ytimg.com/vi/Ma-hsx8yz28/hqdefault.jpg)
![](https://i.ytimg.com/vi/D7Iy5avrTvo/hqdefault_live.jpg)
![](https://i.ytimg.com/vi/AYMjcAkqSyI/hqdefault_live.jpg)
![](https://i.ytimg.com/vi/5aRvdJGN4ro/hqdefault_live.jpg)
Artikel Terbaru
![]( /media/Ilmu yang Menjadi Cahay.png
)
![]( /media/Syakban.png
)
![]( /media/pilar.png
)
![]( /media/makna.png
)